Cerita Perjalanan, Tips dan Inspirasi

Apa yang Saya Alami saat Mendaki Sendirian?

Saya tidak pernah membayangkan diri ini berada di jalur pendakian Gunung Ciremai. Sama sekali. Bagi saya, Gunung Ciremai sama seperti Gunung Kerinci. Menyeramkan. Bukan karena hantu atau penampakan di gunung.

Nyatanya, Mei 2018 saya mendapati diri saya tengah mendaki Gunung Ciremai. Dari Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, saya meluncur ke Majalengka dengan menggunakan bus. Semua perbekalan siap sudah. Hal yang membuat saya semakin antusias sekaligus deg-degan adalah: saya melakukan pendakian ini sendirian. Solo hiking.

Hobi untuk berkelana secara independen ini sebenarnya sudah cukup lama saya mulai. Perjalanan seorang diri ke Yogyakarta sekitar tahun 2009 menjadi seperti candu. Saya mencobanya sekali, lalu ketagihan.

Semakin lama, gaya berlibur semacam ini jadi terasa kian menyenangkan. Bahkan saya menyebutnya menjadi kebutuhan. Kebutuhan untuk kabur dari orang-orang.

Awalnya, saya hanya berani untuk liburan sendirian ke tempat yang saya anggap ramah wisatawan: kota yang menyediakan transportasi dan akomodasi dengan mudah. Kemudian saya mencoba menjelajahi pantai-pantai sepi di beberapa kabupaten atau kota kecil.

Akhirnya saya mencoba untuk membawa gaya berlibur ini ke jalur pendakian. Saya pun melakukan test drive di Gunung Lembu dan Gunung Bongkok di Purwakarta. Keduanya tidak dikategorikan sebagai gunung, mungkin. Namun, percayalah, apalah arti sebuah nama. Medan pendakian keduanya ternyata tidak kalah dengan medan pendakian beberapa gunung yang pernah saya daki sebelumnya: sama-sama “asoy”.

Lantas, apa yang saya dapatkan dari pendakian seorang diri? Buat saya yang tidak terlalu senang mengobrol atau mendengar orang berbicara lama-lama, hal yang paling melegakan dari pendakian seorang diri adalah ketenangan.

Solo hiking membawa ketenangan buat saya. Jeda di antara suara-suara manusia yang selalu mengajak ngobrol. Saya menyebutnya: istirahat (hampir) total dari interaksi dengan manusia.

Saya tidak mau menjadi filsuf dadakan atau berfilosofi dengan menyebut solo hiking memberi saya ruang untuk mendengar suara sendiri, merenung, berpikir, atau apa pun. Bukan, bukan saya. Jangankan untuk merenungkan hal-hal berat. Hal yang saya pikirkan tidak jauh-jauh dari kebutuhan dasar saya: makanan, air, dan istirahat.

Baca juga: Etika Pendakian, Perlukah? di sini.

gunung bongkok purwakarta.jpg
Saya menjajal solo hiking di Gunung Bongkok, Purwakarta.

Anda mungkin bertanya: apakah saya merasa kesepian di jalur pendakian? Tentu saja, terkadang. Tidak bisa dimungkiri, ada kalanya saya merasa perlu teman bicara. Namun, saya tidak benar-benar sendirian, bukan? Saya tidak sedang berada di rimba Amazon.

Hal seputar jalur pendakian atau cuaca biasanya menjadi topik perbincangan saya dengan para pendaki lain yang berpapasan. Di camp ground pun, saya menyempatkan diri menyapa dan mengobrol dengan penghuni tenda tetangga. Saya tetap bekomunikasi dengan orang lain, dengan takaran yang saya inginkan.

Hal lain yang saya rasakan ialah perbedaan kecepatan berjalan. Saya tidak mengukur secara pasti apakah pendakian sendirian benar-benar membuat saya berjalan lebih cepat (karena saya tidak pernah membandingkan waktu tempuh pendakian gunung yang sama sendirian dan bersama rombongan). Saya hanya merasa berjalan lebih cepat dari biasanya.

Ketika saya berjalan dalam kelompok pendakian, kecepatan maksimal saya adalah kecepatan terendah salah satu anggota kelompok. Saya tidak mungkin berjalan lebih cepat dari itu, alias meninggalkan teman kelompok.

Baca juga: Gunung Lawu Jalur Cetho: Cerita Pendakian Sendirian di sini.

Di Gunung Ciremai, saya bisa mengatur kecepatan berjalan semau sendiri. Ketika semangat membara, saya bisa terus berjalan bahkan melewati pos pendakian. Ketika saya memutuskan untuk rehat pun saya bisa menentukan seberapa lama saya berhenti istirahat.

Jalur pendakian Gunung Semeru
Sekelompok pendaki di jalur pendakian Gunung Semeru.

Baca juga: Summit Attack, Setelah atau Sebelum Sunrise? di sini.

Hal baru yang cukup menarik adalah reaksi para pendaki lain yang saya temui di jalur pendakian atau di base camp. Sebagian besar menunjukkan antusiasme ketika mengetahui saya mendaki sendirian. Pertanyaan mereka tidak berhenti di sana dan berlanjut untuk mencari tahu alasan saya memilih mendaki sendirian. Saya dengan semangat mencoba meyakinkan mereka betapa menyenangkannya hal yang sedang saya lakukan.

Ada juga salah satu kelompok pendaki yang menawarkan saya bergabung—yang tentunya saya tolak—karena menganggap saya mendaki sendirian karena terpaksa.

Apa saya merasa takut di perjalanan? Iya. Mendaki sendirian berarti bertanggung jawab secara penuh untuk keselamatan diri sendiri. Untuk itu, saya mempersiapkan setiap hal secara detail, seperti informasi dan perbekalan.

Pernah waktu itu, saya tergesa-gesa turun gunung karena akan hujan, hingga akhirnya kaki saya cedera. Tidak ada yang bisa membantu. Akhirnya, saya harus mengurangi kecepatan berjalan dengan kaki yang sakit.

Beberapa kali pula saya takut memilih jalan ketika menemui persimpangan di jalur pendakian. Takut salah jalan, walau saya merasa kedua jalurnya akan berpotongan di titik yang sama juga di depan. Namun, entah, tetap saya merasa takut tanpa alasan kuat.

Baca juga: Pendakian Merapi dari Selo di sini.

Satu pertanyaan yang sering ditanyakan pada saya adalah, “Yos, pernah lihat yang aneh-aneh ngga selama di gunung? Digangguin gitu?”. Jawaban saya, tidak. Saya tidak percaya dan mengakui keberadaan hantu. Jadi, jika pun ada satu hal ‘aneh’ yang terjadi, saya akan selalu berusaha mencari alasan logis sebagai penyebabnya, misalnya gravitasi atau halusinasi karena terlalu letih mendaki.

Justru saya jauh lebih takut dengan binatang buas yang bisa saya temui di perjalanan atau menemui saya di tempat kemah, misalnya babi hutan atau macan. Kalau babi kecap, saya suka. Hal lain yang juga sering saya takutkan adalah kriminalitas. Katakanlah, ada seorang yang mencari tumbal jantung manusia untuk pesugihan. Imajinasi yang cukup liar namun masuk akal.

Saya pikir itu saja hal-hal yang saya rasakan dan alami ketika saya mendaki gunung sendirian. Sisanya, tidak jauh berbeda dari pengalaman pendakian berkelompok. Beban barang pendakian pun tidak jauh berbeda, karena biasanya saya pula yang membawa beban pendakian paling banyak ketika mendaki berkelompok.

Bagaimana dengan Anda? Punyakah pengalaman menarik soal solo hiking? Atau jika belum pernah mencoba, apakah tertarik untuk mencoba sendirian di jalur pendakian?

59 thoughts on “Apa yang Saya Alami saat Mendaki Sendirian?”

    1. Mungkin lebih mudah sebut gunung yang ngga boleh didaki sendirian ya. Setau saya Gunung Gede Pangrango, Ciremai, Semeru, Rinjani, Merbabu, dan Argopuro udah ngga boleh didaki sendirian.

      Like

  1. Mantul banget, lihat videonya juga. Awalnya aku pikir yang sering upload konten tentang solo hiking itu hanya settingan, karena kan risikonya besar banget. Tapi ternyata gak yak.

    Padahal aku juga suka area hutan, tapi belum ada nyali untuk explore sendiri. Mungkin karena memang passion kamu yak, jadi punya dorongan kuat untuk melakukannya. Kalau bukan passion udah berat duluan ngebayanginnya.

    Liked by 1 person

    1. Makasih, makasih 😁✌🏼️

      Ngga kok haha. Ya kalau ada yang setting-an ngga tau ya. Hahaha. Ya bisa jadi, Mas. Saya di kota pun lebih nyaman pergi sendirian kok, jadi menyenangkan aja mendaki sendirian pun 😁

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.