Tips dan Inspirasi

6 Hal yang Sering Orang Tanyakan tentang ‘Solo Hiking’

1. “Temannya ke mana?”

Ini adalah pertanyaan yang sangat sering ditanyakan oleh orang-orang yang saya temui di jalur pendakian, terutama warga lokal. Ketika mereka mengajukan pertanyaan itu, mungkin teman-teman saya sedang berada di rumahnya, di kantor, atau di jalur pendakian lainnya.

Jujur, semakin ke sini semakin sulit bagi saya mendapatkan teman mendaki yang memiliki waktu luang yang sama. Itu alasan pertama teman-teman saya tidak bersama dengan saya di jalur pendakian. Alasan kedua, saya memang ingin mendaki sendirian. Solo hiking benar-benar memberi kemewahan bagi saya yang selalu menyukai keleluasaan.

Tenda yang saya dirikan di pos Gajahan, Gunung Sumbing. Saat foto diambil, memang hanya ada tenda saya. Namun senakin malam, semakin banyak tenda berdiri sampai pos Gajahan benar-benar sesak.

2. “Ngga takut mendaki sendirian?”

Terkadang, iya, saya merasa takut. Ada tiga hal yang saya takutkan ketika melakukan solo hiking. Pertama, cidera di jalur pendakian ketika saya terpaut jarak cukup jauh dengan pendaki lain. Kedua, bertemu dan diserang hewan buas, seperti ular, babi hutan, atau T-rex. Ketiga, tersasar di jalur pendakian, terutama ketika melakukan summit attack.

Untuk itu, melakukan riset dan persiapan lainnya sebaik mungkin adalah jalan ninjaku. Tidak hanya membuat saya paham betul medan yang akan saya lalui, riset mendalam juga membuat saya lebih percaya diri dan berani melakukan pendakian seorang diri.

Dua pendaki lain di puncak Gunung Slamet.

Baca juga: “Tips Mempersiapkan Pendakian Gunung” di sini.

3. “Pernah rasain hal mistis ngga kalau lagi sendirian?”

Jujur, selama saya naik turun gunung sendirian, saya tidak pernah merasakan hal-hal yang menurut saya mistis atau di luar nalar saya. Saya selalu berusaha menerjemahkan setiap hal yang saya alami ketika mendaki sendirian secara rasional.

Misalnya, memahami “ranting yang tiba-tiba jatuh” sebagai akibat gaya tarik bumi. Misalnya juga, memahami “merasa melihat sekelibat putih melintas” sebagai akibat keletihan atau halusinasi karena suplai oksigen ke otak yang berkurang di tempat tinggi.

Tapi, apakah saya mempercayai hal semacam itu? Saya lebih memilih untuk berpegang pada logika sambil tetap menghormati kepercayaan masyarakat setempat.

Santan dan kopi, bekal yang “wajib” pendaki bawa ketika mendaki Gunung Sumbing via Bowongso. Masyarakat setempat meyakini perbekalan ini akan menjaga kita dari “hal jahat” di jalur pendakian.

4. “Solo hiking ngga ngebosenin ya?”

Terkadang, iya. Saya adalah tipe pendaki yang suka mendaki sepagi mungkin agar tiba di tempat kemah seawal mungkin. Alasannya, supaya dapat lahan terbaik untuk mendirikan tenda. Konsekuensinya, saya sering jadi orang pertama yang tiba di tempat kemah. Ketika kemah sudah berdiri dan urusan perut sudah tuntas, kadang bosan juga sendirian menunggu pendaki lain sampai.

Melakukan solo hiking versi saya adalah saya merencanakan, mempersiapkan, dan menjalani pendakian sendiri. Ini tidak berarti saya tidak melakukan interaksi dengan pendaki lain. Di jalur pendakian atau di camp ground, saya tetap berinteraksi dengan orang lain sebagai penawar jenuh. Ya, sekedar mengobrol secukupnya.

Saya ketika menunggu pendaki lain datang di Gupak Menjangan, Gunung Lawu.

Baca juga: “Apa yang Saya Alami ketika Mendaki Sendirian” di sini.

5. “Apa pengalaman paling seru selama solo hiking?”

Pertama, bermalam sendirian di Gupak Menjangan, Gunung Lawu. Saat itu adalah bulan Ramadan tahun 2018. Saya sengaja memilih jalur Cetho karena konon cenderung lebih sepi dan alami dibandingkan dua jalur lainnya. Saya tidak menyangka, sepi saat itu berarti hanya saya yang mendirikan kemah di Gupak Menjangan semalam suntuk.

Sensasinya? Luar biasa! Lumayan bikin merinding karena saya dengar suara-suara hewan nocturnal yang saya tidak ketahui wujudnya!

Kedua, menjadi yang pertama tiba di puncak Gunung Slamet, sendirian. Hitungan saya meleset, saya melakukan summit attack terlalu dini. Pukul 2:30 dini hari saya mulai berjalan menuju puncak dari pos 5.

Estimasi saya adalah saya akan memerlukan waktu tiga jam untuk tiba di puncak. Nyatanya, pukul 4:30 saya sudah berada di titik tertinggi Gunung Slamet, seorang diri. Baru sekitar 30 menit kemudian, grup pendaki lain tiba di puncak. Rasanya setengah jam sendirian di puncak? Dingin dan bosan juga, Pak.

Puncak Gunung Slamet, sekitar pukul 5:00 subuh. Foto diambil oleh pendaki lain yang tiba sekitar 30 menit setelah saya tiba di puncak.

6. “Memang boleh naik gunung sendirian?”

Boleh, kok. Setahu saya hanya sebagian pengelola jalur pendakian yang melarang pendaki melakukan solo hiking. Ke depannya, saya yakin kebijakan ini akan semakin banyak diikuti di gunung lain. Sad sekali. Serius.

Beberapa gunung yang setahu saya tidak mengakomodasi pendakian sendirian adalah Gunung Gede Pangrango, Gunung Ciremai (tahun 2018 saya masih boleh mendaki sendirian via Apuy), Gunung Merbabu, Gunung Arjuno, Gunung Semeru, Gunung Argopuro, dan Gunung Rinjani.

Ya, itu adalah enam pertanyaan seputar solo hiking yang paling sering saya terima dari orang lain. Mungkin ada yang punya pertanyaan lain?

1 thought on “6 Hal yang Sering Orang Tanyakan tentang ‘Solo Hiking’”

  1. Menarik sih ini, mas.
    Solo Hiking persiapan dan mentalnya jauh lebih ditempa daripada gowes sendirian. Kalau gowes kayak aku gak mikir banyak, karena yang disiapkan cuma sedikit. Kalau hiking, kudu banyak skill yang harus dimiliki.

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.