Tips dan Inspirasi

Kenormalan Baru Pariwisata: Apa yang Dapat Berubah?

Industri pariwisata dalam negeri lagi berbenah untuk menyambut kenormalan baru atau the new normal. Meski Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB masih diterapkan (katanya), para pihak yang terlibat di sektor pariwisata, baik regulator maupun pelaku usaha, tengah bersiap untuk kembali membuka pintu wisata. Secara bertahap, sebagian tempat wisata akan kembali beroperasi mulai Juni 2020. Siap kah?

Imajinasi saya masih agak abstrak saat membayangkan bagaimana turisme akan beradaptasi dengan kenormalan baru: penyesuaian apa yang akan diatur pemerintah agar tidak menjadi simalakama bagi keselamatan wisatawan dan keberlangsungan industri pariwisata. Melihat bagaimana penerapan PSBB begitu longgar di berbagai daerah, hal lainnya yang juga menjadi pertanyaan adalah bagaimana dan berapa lama penyesuaian ini dapat diterapkan secara maksimal.

Sektor pariwisata dalam negeri sedang bersiap menyambut kenormalan baru. Sejauh mana dan seberapa lama penyesuaian akan diterapkan?

Perubahan utama yang paling akan terasa menurut saya adalah peningkatan standar kebersihan dan kesehatan di tempat wisata. Penyediaan hand sanitizer dan pemeriksaan suhu tubuh di pintu masuk tempat wisata serta penyemprotan disinfektan secara berkala mungkin akan menjadi sebuah standar baru.

Peningkatan standar kebersihan dan kesehatan ini, selain dilakukan sebagai respons terhadap tuntutan sebagian wisatawan yang semakin peduli akan kesehatan, juga akan diterapkan untuk mematuhi regulasi pemerintah.

Perubahan lainnya yang juga mungkin akan dirasakan adalah praktik menjaga jarak fisik atau physical distancing di tempat wisata, seperti rumah makan, jalur antrean wisatawan, atau tempat pertunjukan. Berbeda dengan peningkatan standar kebersihan yang berpeluang berumur lebih panjang, praktik physical distancing ini mungkin akan terus dievaluasi mengingat penerapannya akan lebih berdampak pada pendapatan pelaku usaha pariwisata.

Sebagai contoh, pengurangan kapasitas pelanggan rumah makan atau penumpang moda transportasi umum tentu akan berpengaruh terhadap pemasukan pelaku usaha. Menurut saya, jika pun physical distancing menjadi sebuah praktik yang diterapkan ke sektor pariwisata, umurnya tidak akan terlalu panjang. Mungkin temporary normal?

Kenormalan baru pariwisata dapat dipicu oleh adanya tuntutan wisatawan terhadap peningkatan standar kebersihan dan keselamatan mereka atau didorong oleh regulasi dari pemerintah.

Agar praktik physical distancing dapat dilakukan lebih optimal, penetapan kuota harian untuk membatasi jumlah wisatawan di tempat wisata tertentu dapat dilakukan pemerintah atau operator wisata. Pembatasan ini dilakukan dengan menerapkan sistem pendaftaran calon wisatawan, seperti yang direncanakan untuk mulai diterapkan untuk berlibur di Labuan Bajo mulai Juni 2020.

Jauh sebelum pandemi COVID-19 terjadi, sistem registrasi ini sebenarnya sudah diterapkan di beberapa taman nasional di Indonesia dengan alasan berbeda, misalnya di Gunung Gede Pangrango (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) dan di Gunung Semeru (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru).

Perubahan Kebiasaan Wisatawan

Sebagian wisatawan mungkin tak akan hirau terhadap upaya pencegahan penularan virus corona, terutama ketika mereka berada di tempat wisata yang sulit dijamah oleh penerapan kenormalan baru. Menurut saya, kerumuman wisatawan akan tetap terjadi seperti yang saat ini terjadi di beberapa daerah.

Meski demikian, segelintir orang lainnya mungkin akan lebih memilih berlibur dalam kelompok kecil, berdua, atau bahkan seorang diri, dibandingkan berlibur dalam kelompok besar. Setelah pariwisata kembali dibuka, operator wisata atau open trip mungkin perlu memodifikasi paket wisata yang ditawarkan, misalnya dengan mengurangi jumlah wisatawan dalam satu kelompok atau menawarkan tempat tujuan wisata alternatif.

Baca juga: Tips Berlibur Bersama Teman (tanpa Ingin Mencekiknya)

Mengurangi jumlah pelancong dalam satu kelompok wisata bisa menjadi salah satu bentuk kenormalan baru di sektor pariwisata.

Bagaimana dengan kegiatan pendakian yang juga lumrah dilakukan secara berkelompok? Apakah kegiatan solo hiking akan lebih digandrungi? Saya tidak yakin kenormalan baru akan terlalu berpengaruh pada perubahan kebiasan mendaki gunung.

Kegiatan solo hiking melibatkan aspek ‘keniatan’, keberanian, keamanan, dan keselamatan pendaki. Lagi pula, tidak semua taman nasional memperbolehkan kegiatan pendakian tunggal, seperti di Gunung Gede Pangrango, Gunung Semeru, dan Gunung Rinjani. Jika mau mencoba, mungkin pendaki bisa mengurangi jumlah anggota kelompok pendakian atau masing-masing pendaki membawa tenda berkapasitas satu orang.

Apakah hostel akan ditinggalkan oleh sebagian wisatawan? Untuk sementara waktu, mungkin iya. Tidur seruangan dengan orang lain, apalagi wisatawan mancanegara, bukanlah pilihan yang tepat untuk dilakukan pada masa kenormalan baru. Lagi pula, tarif virtual hotel operator, seperti OYO dan RedDoorz (turut berbela sungkawa atas pamitnya Airy Rooms per 31 Mei 2020 ini) tidak jauh berbeda dari hostel, meski sudah jelas tidak menawarkan pengalaman yang didapatkan saat menginap di hostel. Sebagai penggemar hostel, untuk sementara saya mencoret kamar sharing ini dari daftar penginapan.

Akomodasi berbagi seperti hostel berisiko menjadi salah satu bisnis pariwisata yang lebih lama pulih dibandingkan jenis akomodasi lainnya yang menawarkan kamar privat.

Cepat atau lambat, secara bertahap pariwisata Indonesia akan kembali dibuka, baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Risiko penularan penyakit akan selalu ada. Tidak ada yang bisa benar-benar menjamin wisatawan yang lolos dari pemeriksaan kesehatan atau suhu tubuh tidak sedang menginkubasi virus.

Salah satu hal yang bisa kita lakukan sebagai penikmat kegiatan wisata adalah menerapkan protokol mencegahan penularan semaksimal mungkin, baik degan menjaga kebersihan diri dan menjaga jarak fisik. Hal lainnya yang juga bisa kita lakukan adalah dengan menyesuaikan cara kita berwisata, baik dengan memilih tempat yang lebih sepi, menggunakan kendaraan pribadi, menghindari high season, dan sebagainya.

Pertanyaan saya, setelah gerbang pariwisata domestik kembali dibuka secara bertahap, apakah kalian akan langsung berkemas dan melancong? Penyesuaian apa yang akan kalian lakukan selama berlibur di masa kenormalan baru?