Sudah hampir dua jam kami menempuh perjalanan dengan sepeda motor ke arah tenggara. Langit cerah, tidak seperti hari sebelumnya yang muram seharian. Beberapa kali saya melewati papan penunjuk jalan. Pantai Timang. Demikian tertera.
Semakin dekat dengan lokasi tujuan, jalanan aspal mulai berganti menjadi jalur berbatu. Menanjak, lalu menurun. Entah berapa kali ban sepeda motor kami selip, tergelincir. Buntutnya, saya harus turun, melanjutkan perjalanan berjalan kaki.
Ini adalah hari kedua saya di Yogyakarta. Saya tiba di sini kemarin petang dan sengaja memilih hostel kecil di Kotagede, melipir dari kegaduhan wisata tengah kota.
Akhirnya, dari Kotagede lah saya memulai perjalanan menuju Pantai Timang di Kabupaten Gunung Kidul, sebelah tenggara Kota Yogyakarta.
Gunungkidul lebih dikenal dengan pesona garis pantainya, sebenarnya. Garis pantai panjang yang langsung menghadap samudera di selatan Jawa. Saya sudah pernah mengunjungi segelintir pantai di sana beberapa tahun lalu.
Sebut saja Pantai Baron, Pantai Drini, dan Pantai Indrayanti. Ketiga pantai itu pasti sudah jauh lebih ramai oleh wisatawan sekarang ini—dan keramaian adalah hal yang sangat saya hindari akhir tahun ini.

Maka Pantai Timang menjadi pilihan yang tidak salah—dan tidak sepenuhnya benar juga. Di satu sisi, dugaan saya tak melenceng bahwa lokasi ini tidak terlalu ramai oleh wisatawan.
Tunggu dulu. Lupakan untuk membayangkan pantai sepi tempat saya bisa berenang di air yang tenang atau berbaring di atas pasir.
Pantai Timang yang saya datangi adalah tebing batu karang yang berada puluhan meter di atas permukaan laut.
Ombak besar berderu, bergulung, dan berulang-ulang menghantam tebing karang. Sangat mustahil untuk berenang di sana.
Hal yang saya cari di sini adalah sebuah gondola, sejenis kereta gantung yang akan membawa saya meluncur kira-kira sejauh 80 meter ke sebuah batu karang besar di seberang laut.
Jangan tanya soal standar atau jaminan keamanan. Uang Rp150.000,00 saya bayar di loket hanya untuk menebus tiket bolak-balik gondola. Tidak ada tali yang diikatkan ke tubuh saya sebagai pengaman. Terlalu mahal bukan?

Tak sampai 20 orang ada di Pantai Timang saat saya tiba. Sebagian besar saya lihat sedang berfoto-foto mengambil deburan ombak atau batu karang di seberang laut sebagai latar belakang.
Saya rebah sebentar di dekat loket karcis. Menunggu nafas yang payah kembali normal setelah berjalan kaki menuju bibir tebing, sambil memerhatian suasana di sekitar saya.
Di ujung tebing karang, tiga orang pada masing-masing ujung tali sudah bersiap mengatrol gondola agar bisa meluncur ke seberang. Ya, gondola ini meluncur menggunakan tenaga manusia.

Saya lantas mendatangi gondola, dan rebah di sebuah bangku di atasnya. Lalu salah seorang petugas meminta saya berpegangan pada tali di sisi gondola. “Sudah siap?”, ia memberi aba-aba. “Sudah!”, jawab saya.
Seketika gondola yang saya duduki meluncur perlahan. Jalannya tidak mulus, sedikit bergoyang-goyang, berayun ke depan-belakang. Terkesan ringkih.
Suara gondola yang berderit terus terdengar sepanjang perjalanan menyeberang. Gondola ini seperti malas bergerak. Sisanya, cuma terdengar kesiur angin dan deburan ombak ganas di bawah kaki.

Lalu, hey, saya sudah ada di seberang! Iya, sebentar rupanya waktu tempuh untuk menyeberang. Rasanya saya baru saja mengatur komposisi layar kamera dan tiba-tiba saya sudah sampai!
Di luar perkiraan, saya tidak merasakan ketegangan dan kengerian yang saya pikir bisa saya beli di sini. Tidak ada. Sama sekali. “Benar-benar terlalu mahal karcis ini“, gerutu saya dalam hati.
Duduk di atas Kicir-kicir di Dunia Fantasi jauh lebih membuat saya takut dan berfantasi yang tidak-tidak. Namun di sini, entahlah, standar keamanan berupa sandaran iman dan sedikit doa nampaknya sudah cukup membuat saya merasa tenang meluncur melintasi ombak yang mengamuk di bawah kaki.
Sebenarnya, ada sebuah jembatan yang juga bisa digunakan wisatawan untuk menyeberang. Tarifnya tak jauh berbeda Rp100.000,00 bolak-balik. Mahal juga. Entahlah, berjalan kaki di atas kayu jembatan yang tergantung hampir 100 meter mungkin akan memberi pengalaman seram yang berbeda.
Di seberang sini, warga lokal biasa menangkap lobster yang terdampar di batu karang. Ada sebuah tangga kecil yang bisa digunakan oleh wisatawan untuk menuruni batu karang, jika ingin melihat lobster-lobster ini. Inilah cikal bakal adanya penyeberangan di Pantai Timang, hingga menjadi incaran para wisatawan untuk menjajal.
Menyenangkan kah? Iya, sekedar memberi pengalaman baru untuk saya. Tapi jika saya ditanya untuk kembali lagi berwisata menunggangi gondola lagi di sini, maka tidak adalah jawaban saya. Tertarik untuk mencoba?
26 thoughts on “Uji Nyali dengan Gondola Pantai Timang”