Saya menuai cukup banyak tanggapan di salah satu foto Instagram saya. Ini adalah foto liburan yang saya unggah beberapa waktu lalu. Sebagian besar orang menjawab pertanyaan yang saya tik di kolom caption. Sisanya? Meminta oleh-oleh.
Ada yang sekedar berbasa-basi, saya tahu. Namun, ternyata ada juga yang serius! Iya, beberapa di antaranya menunjukkan kekecewaan ketika saya menolak mewujudkan cita-cita mereka.

Sesungguhnya, saya tidak terkejut. Meminta sesuatu dari orang yang sedang atau telah bepergian adalah tabiat yang sudah mendarah daging di lingkungan sekitar saya. Saya tidak tahu di daerah lain di Indonesia atau di luar negeri.
Mungkin sudah dianggap lumrah, maka perangai meminta-minta ini hampir selalu dilakukan. Pada sisi lain, ada juga kebiasaan untuk membeli oleh-oleh untuk orang lain, terpaksa atau pun sukarela.
Saya pernah bertanya pada beberapa orang yang hampir tak pernah absen membawakan rekan kerjanya oleh-oleh. Alasan mereka membawa oleh-oleh mudah ditebak: tidak enak kalau tidak bawa apa-apa, tidak enak karena sudah diizinkan cuti, tidak enak karena orang lain pun melakukan itu, dan sebagainya.

Sebenarnya saya tidak merasa terlalu terganggu jika orang yang meminta dibawakan sesuatu adalah teman dekat atau anggota keluarga saya. Namun, sering kali permintaan oleh-oleh ini bukan datang dari teman saya, melainkan dari rekan kerja. Ya, mereka yang mengenal saya hanya karena kebetulan kami bekerja di perusahaan yang sama.
Jika ada yang menilai saya kikir karena hal ini, itu urusan antara mereka dan tafsir mereka. Saya tidak ambil pusing. Namun untuk membuatnya adil, saya juga bisa menilai mereka bermental pemalak atau pengemis.
Lalu mengapa saya memilih untuk tidak membelikan buah tangan untuk orang lain? Karena belum tentu ada alasannya. Saya tidak termasuk dalam daftar nama orang yang gemar berbasa-basi dengan membelikan oleh-oleh. Saya juga bukan tipe orang yang “ngga enakan” kalau datang ke kantor dengan tangan hampa setelah cuti. Bermanis-manis dengan oleh-oleh agar jadi kolega favorit di ruang kerja? Bukan saya.
Saya lebih suka pertanyaan: mengapa saya membelikan sesuatu untuk orang lain ketika saya bepergian? Lalu apa saya benar-benar tidak pernah membawa sesuatu untuk orang lain ketika berlibur? Tidak juga.

Ada beberapa pertimbangan yang biasanya menggiring saya mau berbelanja oleh-oleh. Pertama, barang ini memiliki nilai khusus. Misalnya, seorang rekan kerja meminta saya membawakan bendera negara Israel ketika saya berada di Tel Aviv. Ya, saya belikan meski kami tidak begitu akrab.
Atau ketika saya ingin membuat seorang teman bisa merasakan suasana tempat saya berlibur, saya biasanya membawa makanan kecil khas yang saya bungkus sebagai oleh-oleh.
Hal yang membuat saya kehilangan rasa kesal adalah ketika seseorang meminta saya membelikan oleh-oleh apa pun. Terserah saya. Barang apa saja yang penting dibelikan. Pada titik ini, rasa kesal saya berubah menjadi rasa iba. Sungguh.

Pertimbangan kedua, saya ingin membuat seseorang merasa senang, secara khusus. Untuk alasan ini, barang yang saya beli biasanya bukan gantungan kunci atau magnet kulkas, melainkan sesuatu yang lebih personal, sesuatu untuk menunjukkan bahwa saya mengenal kesukaan mereka. Untuk alasan ini pula, biasanya saya melakukannya secara sukarela tanpa permintaan.
Apa saya anti oleh-oleh? Jelas tidak. Saya senang kalau ada rekan kerja yang membawa oleh-oleh keripik yang digelar di atas meja rapat. Pasti saya cicipi. Namun, saya tidak pernah meminta dibawakan oleh-oleh.
Mengapa? Pertama, merepotkan orang lain. Malu. Belum tentu orang yang saya titipi oleh-oleh punya waktu, tenaga, jatah bagasi, atau uang untuk membeli barang titipan saya. Apalagi, orang-orang di sekitar saya adalah orang yang “ngga enakan”. Saya tidak mau mereka membelikan saya barang hanya karena “ngga enak”.
Kedua, ada jasa titip, bukan? Saya rasa dan saya pikir tidak sulit untuk mencari barang yang kita inginkan dari berbagai tempat, kecuali kita memang sedang sangat mengirit pengeluaran untuk membayar ongkos kirim.
Pada akhirnya, saya tetap menganggap membawa oleh-oleh sebagai hal baik. Berbagi itu menyenangkan, bukan? Dengan membawa kopi dari Aceh misalnya, saya bisa membuat orang lain merasakan sedikit suasana kedai kopi di Tanah Rencong, mungkin.
Namun, jika hal ini dilakukan karena merasa terpaksa atau ngga enak, itu lain soal. Saya lebih memilih untuk tidak membelikan sama sekali, daripada saya berlibur dengan gondok menggantuk di leher.

Aku sih sejak awal BIG NO kalau harus bawa oleh-oleh hahaha. Males juga belanja. Apalagi klo ada yang nitip-nitip terus antrinya lama dan hampir ketinggalan pesawat. Orang rumah aja gak pernah aku bawain oleh-oleh kok haha
LikeLiked by 1 person
Hahaha bagus itu berani nolak. Kalau ada yang nagih pas ketemu biasanya jawab apa, Mas Alid? 🙊
LikeLike
hahaa bener banget ya, bisa2 ketinggalan pesawat, dan bawanya juga lumayan rempong
LikeLike
Minta dibeliin oleh-oleh atau nitip dibelikan barang saat sedang traveling itu merepotkan, yang ada gak pokus menikmati perjalanan, malah sibuk bolak balik ke toko nyari titipan
LikeLike
Betul. Semangat berbagi yang harusnya nyenengin malah jadi ngeselin.
LikeLike
Yang ngenes udah dibawakan gantungan kunci atau magnet eh yang dikasi protes. kok cuma ini?? atua diterima tapi dibiarin dimeja kerjanya, hiks
LikeLike
Hahaha saya belum pernah dapet keluhan soal oleh-oleh sih. Aneh juga. Ga ngehargain banget kalo ada yang gitu.
LikeLike
Iya pengalaman pribadi soalnya.. Sediih gt liat oleh2 digeletakin dimeja kerjanya berhari2 haha
LikeLike