Sejumlah media massa menyorot Amelia Liana beberapa hari lalu. Bukan karena kecantikannya atau prestasinya sebagai seorang blogger. Bukan.
Perkenalkan, Amelia Liana, seorang travel blogger yang berdomisili di Inggris dan Amerika Serikat. Pengikutnya di Instagram tidak bisa dibilang sedikit: lebih dari 450.000 pengikut.
Amelia menjadi bahan perbincangan karena diduga berdusta soal perjalanan yang ia lakukan. Foto yang Amelia unggah di Instagram diduga dimanipulasi.
Di Instagram, Amelia mengunggah foto dirinya berada di New York, Amerika Serikat. Dalam foto, ia nampak sedang berdiri di sebuah gedung dengan latar belakang panorama kota New York.
Foto inilah yang menyeret Amelia menjadi bahan cemoohan. Sejumlah orang menganggap foto itu palsu.
Alasannya? Lanskap kota New York yang ada di hadapan Amelia dianggap berbeda dengan lanskap kota New York saat ini: tidak nampak Freedom Tower yang sudah berdiri di sana sejak beberapa tahun silam.

Selain itu, pantulan Amelia di kaca gedung juga dianggap aneh. Kaca di hadapan Amelia tidak memantulkan visual tangan Amelia secara terbalik.
Bukan hanya satu foto yang dianggap palsu oleh sebagian orang. Beberapa foto lainnya, seperti foto dirinya di depan Taj Mahal India juga menjadi pergunjingan.

Kepada media massa, Amelia membantah. Ia menegaskan, dirinya tidak pernah membohongi para followers-nya dengan mengedit foto.
Okay, saya tidak menulis ini untuk memperdebatkan keaslian foto Amelia di New York atau Arga. (Tapi jika Anda mau berbagi pendapat soal cahaya yang tidak terpantul terbalik di kaca atau sebagainya, saya senang menyimaknya).
Pergunjingan soal Amelia mengingatkan saya pada seorang teman lama, teman masa sekolah yang juga pernah terkena masalah serupa.
Ia—saya akan menyebutnya Nona Manis—cukup tekun mengunggah foto-foto perjalanan liburannya di media sosial. Sebagian besar ke luar negeri.
Saya tidak perlu menceritakan bagaimana kebohongan Nona Manis terungkap. Namun pada intinya, Nona Manis tertangkap basah berbohong tentang perjalanan yang dikisahkannya dalam media sosial sedang ia lakukan.

Berbohong di media sosial tentang perjalanan liburan. Apa yang mereka inginkan? Saya pikir, hal yang mereka inginkan adalah sebuah pengakuan. Sebuah pengakuan untuk dianggap ada, sebuah pengakuan untuk dianggap sebagai seorang yang sering traveling, sebuah pengakuan sebagai orang kaya, apa pun.
Apakah itu salah dan tidak dibenarkan? Anda bebas berpendapat.
Saya tidak menyangkal, bermedia sosial telah menjadi partikel dari kegiatan traveling hari ini, untuk apa pun itu, mencari referensi tempat wisata atau membagikan foto Anda ketika berlibur.
Saya pernah mengulas bagaimana gawai (gadget) dan media sosial mengubah cara kita berlibur, beserta dampaknya. Anda bisa membacanya di sini.
Ketika berlibur, Anda tak berhenti membagikan keceriaan Anda di Instagram, Twitter, Path, Facebook, My Space, atau Friendster (yes, I’m old. I know). Saya juga melakukannya, secara terbatas.
Saya tidak munafik, saya membagikan secuil pengalaman liburan atau perjalanan saya melalui Instagram atau Twitter ketika saya sedang berlibur. Saya juga mengakui, saya merasa diapresiasi jika foto yang saya unggah di Instagram mendapat banyak likes atau komentar.
Apakah itu merusak liburan? Apakah itu menghilangkan ‘esensi asli’ liburan untuk bersenang-senang? Saya pikir, setiap orang memiliki cara masing-masing untuk menikmati liburan.
Saya tidak bisa mengukur tingkat kepuasan orang lain yang sedang berlibur dengan cara saya berlibur sebagai alat ukurnya. Tidak bisa.
Apakah itu salah? Selama itu tidak mengusik urusan orang lain, saya anggap tidak salah. Bahkan saya tidak menganggapnya sebagai urusan saya.

Namun, ketika seorang travel influencer profesional—saya melihat konteks profesional sebagai sesuatu yang menghasilkan uang—membuat kebohongan publik tentang perjalanan liburannya, saya tegas menyebutnya salah.
Ketika Anda sudah meyandang status profesional, Anda berhubungan dengan klien, Anda berhubungan dengan followers yang bisa saja mempercayai pengalaman atau informasi produk yang Anda share.
Saya serius. Jika Anda memiliki imajinasi yang begitu hebat, apalagi piawai merangkai cerita, jadilah seorang penulis buku atau naskah film fiksi. Anda bisa tetap berkarya, menghasilkan uang, dan tentu saja mendapat mengakuan ‘ada’ dari masyarakat.
Ah, jika Descartes hidup pada masa kini, mungkin ia akan nge-tweet: “Aku ber-medsos, maka aku ada”.

anak SMA sekarang pun banyak yang begitu, mas. foto di mana, nyebutnya di mana… cuma sekadar ngedit pun ngakunya di tempat itu
LikeLiked by 1 person
Hahaha.. Itu mah becanda kali, Mas? 😛 Tapi pernah juga baca beberapa tulisan soal gimana media sosial (khususnya Instagram) pengaruhin anak-anak muda dalam nentuin pencapaian mereka.
Mereka ngeliat gaya hidup orang lain begitu nyenengin (padahal apa yang kita post di medsis adalah image apa yang kita ingin bangun di depan netizen). Akhirnya, yaaaa.. Mereka jadi minder karena ngerasa hidupnya ga sesempurna bayangan mereka. Mungkin salah satu jalan instannya, manipulasi gaya hidup. Fake travel? Hehe.
LikeLike
Kalau aku, instagramnya ga update update. Bingung mau upload apa. Jalan juga kagak. Mungkin bsk blajar edit poto lah biar ikut keren. Biar kekinian. Jalan2 ke luar negeri biar kaya horang kaya #Toyor 😀
LikeLiked by 1 person
Memang jarang pake Instagram atau jarang pake semua medsos, Mba?
Hahaha.. Aamiin… 😀
LikeLike
Jarang semua medsos si.. tapi instagram juga cuma buat liat update an orang.. hehe..
LikeLike
Haha. Nampak menenangkan itu jarang posting di medsos 🙂
LikeLike
Tidak sedikit yang menganggap, bahwa sosmed adalah ajaang untuk pengakuan diri,m dan menunjukkan pada orang lain. hehheheh
LikeLike
Yap. Selama itu bikin mereka bahagia (apalagi bisa jadi lahan cari duit) dan ga ngerugiin orang, sah lah ya 🙂
LikeLike