Saya sedang berlibur ratusan kilometer dari tempat saya bekerja. Tidak ada dering telepon dari rekan kerja, tidak terdengar suara atasan saya, lalu tidak ada e-mail yang harus saya baca. Sempurna. Suatu pagi, saya terbangun di kamar hotel untuk memulai petualangan liburan. Hal pertama yang saya cari adalah? Makanan. Tentu saja makanan.
“Terima kasih, nomor kamarnya 1709. Ini password internetnya, Pak. Besok breakfast sudah bisa dinikmati mulai pukul 06:30 pagi di restoran,” ya, kalimat itu. Hidangan itu tidak gratis, tentu saja. Tarif yang Anda bayar untuk kamar hotel biasanya sudah mencakup biaya untuk sarapan pagi.
https://www.instagram.com/p/z59vKIDxT0
Beberapa hotel lebih memilih untuk berkopromi. Mereka menawarkan tarif kamar tanpa sarapan ketika saya memesan kamar hotel melalui internet. Tentu, dengan tarif kamar yang lebih murah. Perbedaan tarifnya? Man, I don’t pay this much for a buffet breakfast on holiday.
Saya sarapan di hotel, terkadang, ketika hotel tidak memberi saya pilihan untuk membayar atau tidak membayar harga sarapan. Anda tahu, begitu berat meninggakan hotel tanpa menyentuh menu sarapan yang aromanya menguar sampai ke lobby. Namun sesekali, relakanlah makanan all you can eat yang seolah-olah gratis itu.
Lupakan kepingan sereal yang berkecimpung di semangkuk susu segar. Lupakan sosis hangat dan empuk yang biasanya Anda colek ke sambal. Luakan juga telur dadar bercampur irisan sayur dan jamur yang baru selesai dimasak.
Basuh wajah, bersihkan gigi, dan ayunkan kaki Anda keluar hotel mencicipi menu sarapan ala warga lokal.
Suatu pagi di pengujung tahun 2016, saya berjalan kaki menelusuri Kota Blitar. Masih sangat sepi. Sejuk masih memeluk hari. Mungkin sekitar pukul tujuh pagi. Tidak banyak kendaraan yang hilir mudik di jalanan.
Suasana pagi seperti menampakkan wajah yang berbeda dari suatu tempat, termasuk Blitar. Suasana tenang, trotoar masih lengang. Tak ada orang buru-buru lalu lalang. Mungkin seperti wajah perempuan yang belum berlapis perona atau gincu ketika mereka bagun pada pagi hari.
Saya berjalan ke arah barat alun-alun dan berhenti di warung nasi bungkus di pinggir pasar. Penjual kaki lima biasa. Tanpa nama. Hanya menjual nasi bungkus, aneka keripik dan gorengan, lalu minuman seduh. Bukan penjual makanan yang namanya bisa saya temui di travel blog atau mesin pencari Google.
Di sana, pembeli dan penjual saling sapa, saling lempar kelakar. Ada seorang ibu yang lahap menyangtap nasi bungkusnya sambil terus berbincang dengan penjual. Saya tidak paham betul Bahasa Jawa. Namun mereka sempat menyapa saya sebelum saya beranjak. Bagian ini saya mengerti.
“Wong kok ganteng-ganteng tenan”. Ah, saya pasti salah dengar.
Secara tidak saya rencanakan, kebiasaan ini sudah sering saya lakukan ketika saya bepergian, bahkan ketika saya pulang ke Bandung. Menikmati pagi dengan tenang tanpa tergesa-gesa untuk sesuap nasi. Menyenangkan.
Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda terkadang rela meninggalkan buffet di hotel dan mencari sarapan di luar?
Haru sarapan di hotel karena enak-enak makanannya. Kalau makanan lokal di sekitar hotel, nanti saja pas makan siang atau makan malam.
LikeLike
Haha.. Iya, kadang suka ga tahan sama godaan makanan hotel. Apalagi kue-kue kecilnya.
LikeLike
Pengalaman saya pribadi kalau pas nginap di hotel karena acara kantor pasti makan di hotel sekalian. Tapi kalau main sendiri rata-rata makan di luar. Biasanya sebelum main sudah mencari info makanan khas lokasi tersebut atau kalau tidak ada mencari info warung makan terdekat dari hotel.
*Foto pagi yang ada orang sepedaan itu bagus banget 🙂
LikeLike
Tergantung sih, kalo liat menu sarapannya gitu-gitu aja mending melipir ke pinggir jalan cari makanan khas kota tersebut 😉
LikeLike