Cerita Perjalanan

Hikayat dari Lubuk Telaga

Berhenti ia di depan sebuah rumah. Kakinya telanjang. Pakaiannya usang. Usia sudah menggurat banyak keriput di wajahnya.

Lalu ia menopang badannya dengan tongkat kayu, mencoba melangkah mendekati pintu rumah yang menganga. Lelaki itu mengharapkan sesuatu.

“Sepi banget ya, Bu?”, saya bertanya sembari menerima semangkuk mie instan yang ia ulurkan. “Jam segini mah masih sepi, biasanya pada lari pagi dulu. Nanti kalau udah juga pada ke sini. Siangan rame”, jawabannya lebih komplit dari Indomie yang saya pesan.

Ketika saya tiba, Bu Dadang adalah satu-satunya pemilik warung yang sudah sibuk menata jajanan. Warung lain masih kosong. Masih pukul 05.30 pagi memang. Saya sengaja datang sedini ini untuk melihat sunrise. Nihil. Kabut turun. “Kopina hiji, Bu. Aya?”, saya memesan segelas kopi panas.

”Punten”, ia menyapa. “Mangga. Siapa?”, jawab seorang perempuan dari dalam rumah. Mata lelaki renta itu sedikit berbinar. Ada asa di sana. Ia menunggu di depan pintu. 30 detik… Satu menit… Tidak ada orang yang keluar.

Kali ini ia mencoba mengetuk pintu. “Siapa? Iya, sebentar!”, suara orang itu lagi. Akhirnya seorang perempuan muda keluar sambil tersenyum. Rambutnya hitam diikat ke belakang. Cantik. Lehernya berhiaskan kalung emas. Juga pada daun telinganya tergantung anting berhias permata.

Langkah wanita itu tetiba terhenti ketika ia melihat sosok lelaki renta yang ada di depan kediamannya.

“Sama siapa ke sini?”, tanya Bu Dadang. “Sendiri, Bu. Mendadak soalnya”, jawaban standar saya untuk menjelaskan alasan saya bepergian sendirian. Seraya menyeruput kopi yang masih mengepul, kami terus berbincang.

Ia dan suaminya, Pak Dadang, menggantungkan hidupnya di danau ini, Situ Bagendit. Obyek wisata di Kabupaten Garut ini tak pernah sepi dari wisatawan. Tak hanya wisatawan dari luar Garut, warga setempat juga tak bosan untuk bersantai di tepi danau ini.

Tak heran jika Bu Dadang bilang danau ini selalu ramai didatangi masyarakat setempat pada akhir pekan. Tempat wisata ini dapat dijangkau dengan menggunakan angkutan umum. Benar-benar dilalui oleh angkutan umum, tanpa ada sekelompok penyedia jasa angkutan lain yang berontak minta jatah pembagian wilayah.

“Nanti kalau Aden mau ke tengah danau mah, bisa sama Si Bapak”, Bu Dadang memberi saya penawaran”, pake rakit bisa, pake perahu bebek-bebekan juga bisa”. Saya mengangguk sambil tersenyum. “Tuh Bapak datang”, lanjutnya.

“Cari siapa, ya?”, perempuan itu bertanya. Ia mengerutkan keningnya. Senyum tak lagi tergantung di wajahnya. Namun belum sempat lelaki itu menjawab, perempuan itu mengangkat tangan tanannya. Jari telunjuknya diacungkean ke depan.

“Pergi! Amit-amit rumah saya dimasukin gelandangan! Tidak ada makanan di sini! Kerja!”, tiba-tiba perempuan itu berteriak mengusir tamunya.

 “Aki minta air, Neng”, suaranya parau, hampir tak terdengar.

Perempuan itu menghela napas, kemudian berbalik badan menuju dapur.

Di Situ Bagendit, ada puluhan warung tidak permanen berdiri. Warung-warung bambu ini ada mengitari salah satu sisi danau yang dibuka sebagai tempat wisata. Menunya homogen: mie instan, aneka minuman, atau kudapan-kudapan ringan semacam gorengan. Selain para penjual makanan, para pedagang pernak-pernik juga mencari untung di sini.

Ketika hari mulai tinggi, pedagang kaca mata hitam, kalung dan gelang, serta kaos mulai berdatangan. Orang-orang dengan pakaian olah raga juga sudah banyak yang tiba. Danau ini menjadi semacam tempat warga beristirahat selepas lari pagi.

Saya mengikuti Pak Dadang ke arah danau. Indomie dan kopi hitam belum saya bayar, karena saya akan kembali. Kami berjalan di atas bilah-bilah bambu yang mengambang di air. Seperti jembatan apung. Di sisi-sisi bambu, beberapa perahu bambu dan sepeda air ditambatkan.

1220115-01.jpeg
Sepeda air berbentuk binatang-binatang menjadi salah satu atraksi wisata di Situ Bagendit.

“Ini perahunya punya Bapak?”, tanya saya sambil mencoba menyesuaikan diri dengan perahu kecil yang bergoyang. Perahu ini mungkin bisa menambung lebih dari 10 orang. Entahlah. Saat itu, hanya saya dan Pak Dadang. “Bukan. Ini mah yang ada aja pake”, jawabnya sambil mulai melepas tambat perahu. Perlahan, perahu kami mulai bergerak ke tengah danau. Saya berusaha menyesuaikan diri agar tidak jatuh.

Byurrrr!!! Perempuan itu menyiram wajah lelaki tua dengan segelas air. “Pergi! Saya bilang pergi!! Tidak dengar atau tidak tahu malu kamu!?”, kali ini ia langsung membanting daun pintu tepat di hadapan lelaki tadi.

Ialah Endit, orang terkaya di desa. Masyarakat menyebutnya Bagenda Endit. Kekayaan yang bergelimang dalam hidupnya adalah warisan dari almarhum suaminya. Kini, Endit hanya berfoya-foya, menikmati harta.

Tak sedikit masyarakat yang menggantungkan nasib pada Endit dengan meminjam uang. Endit dikenal sebagai orang yang mudah meminjamkan uang, dengan bunga yang mencekik. Jika ada warga desa yang tak sanggup membayar hutang, Endit tak segan mengambil tanah-tanah yang dijaminkan. Lintah darat.

Lelaki tua itu tertatih menjauhi rumah Endit. Wajahnya basah. Sebagian air masih menetes dari janggutnya, membasahi bujunya yang kumal. Sakit sekali hatinya. Baru beberapa langkah ia beringsut, ia membalikkan badan, menghadap rumah Endit. Ditancapkannya tongkat kayu yang ia bawa ke tanah. Tepat di depan pagar rumah Endit.

 Diangkatnya batang bambu itu. Lalu ia bergerak ke sebelah kanan perahu dan menancapkan lagi batang bambu itu ke permukaan danau. Bolak-balik. “Berapa meter ini dalemnya, Pak?”, saya memperhatikan batang bambu yang Pak Dadang gunakan untuk mendorong perahu. Ia mengangkat batangnya, menunjukkan bekas air yang membasahi batang bambu. “Paling juga 1,8 meter. Ga dalem ini mah,” jawabnya.

1220068-01.jpeg
Selain sepeda air, rakit kecil juga dapat digunakan untuk menuju tengah telaga. Di belakang, terlihat warung-warung apung.

Perahu kami bergerak semakin ke tengah. Barisan warung-warung di tepi danau terlihat semakin jauh. Aktivitas belum ramai benar. Saat itu, perahu Kamilah satu-satunya perahu yang sudah ‘angkat jangkar’.

Di tengah danau, ada beberapa bilah bambu yang diikat menyerupai rakit dengan ukuran cukup lebar. Di atasnya terdapat beberapa meja dan kursi berbahan bambu yang bernaung di bawah atap. Warung rupanya. Pada siang hari, rakit ini bisa digunakan untuk menikmati kudapan-kudapan atau minuman, sambil membiarkan pembawa perahu beristirahat. Sayang, pagi itu warung rakit belum buka. Masih sangat sepi.

“Pak! Ini apa?”, Endit memanggil pekerjanya. Tangannya menggenggam tongkat kayu yang tertancap di depan pintu pagar rumahnya. Seperti menegakkan benang basah. Sekuat apa pun Endit mencoba mencabut, ia tidak dapat menarik tongkat itu dari lubangnya. Kali ini, giliran pekerjanya yang berusaha mencabut. Nihil. Tongkat itu seperti menyatu dengan bumi.

Beberapa warga yang sedang melintas di depan rumah Endit ikut dipanggil juga. Semuanya diminta membantu mencabut. Percuma. HIngga kemudian, lelaki renta itu datang lagi.

“Kamu ya! Ini tongkat kamu kan? Masih berani datang ke sini! Saya mau kamu bawa lagi tongkat ini! Saya tidak mau rumah saya kotor sama barang-barang gelandangan!”, Endit memekik.

Semua warga yang ada di sana heran. Tidak ada yang pernah melihat kedatangan lelaki renta itu sebelumnya. Perlahan, kakek itu berjalan ke depan rumah Endit. Digenggamnya tongkat itu.

Seketika, ia mencabut tongkat yang ia tancapkan kemarin. Tak diduga, air langsung menyembur dari lubang yang ditinggalkan tongkat tadi. Tanah di sekelilingnya tiba-tiba retak. Dari retakan tanah, air keluar semakin deras. Semua terkejut. Tanpa ada yang menyadari, kakek itu menghilang dari pandangan.

“Kita pulang aja ya, Pak. Bosan saya”, saya mengajak Pak Dadang untuk kembali ke tepi danau. Di depan kami, ada terlihat seorang remaja yang sedang berlatih mendayung kano. Saya mencoba membidiknya dengan lensa.

“Itu yang lagi latihan buat PORDA. Dari dulu banyak kok yang suka latihan di sini. Kadang ada juga yang latihan berenang atau nyelem, ga tau dari mana Bapak”, jelas Pak Dadang tanpa saya tanya. Saya mengangkat kamera dari depan wajah, ”O… Bapak udah lama di sini?”, tanya saya. “Bapak mah memang tinggal di sini. Tapi baru mulai bawa perahu kaya gini mah belum sepuluh tahun”, jawabnya sambil mulai menyibak air dan mengayuh perahu.

Air makin banyak keluar menyerupai banjir bandang. Retakan kian lebar menganga. Warga berhamburan menjauhi rumah Endit, berusaha menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi.

Endit berteriak. Ia panik. Ingin ia meninggalkan rumahnya ikut menyelamatkan diri. Namun ia takut. Bukan takut air, melainkan takut meninggalkan segala harta yang ia tumpuk di dalam rumahnya.

“Perhiasan! Perhiasan saya nanti ada yang ambil!”, ujarnya dalam hati. Segera ia bergegas masuk ke dalam rumahnya, berkehendak membawa sebanyak mungkin kalung, cincin, anting, dan perhiasan lain yang ia simpan.

Endit membawa semuanya dalam buntalan kain samping. Lalu ia bergegas keluar dari rumahnya. Seketika, air bah datang menghantam Endit dari depan rumah. Ednit hanyut terhempas. Endit mencoba melawan terjangan air, namun terlambat. Air mengurungnya di dalam rumah, bersama semua harta kekayaannya.

Saya dan Pak Dadang kembali ke warung. Sekali lagi saya memesan kopi. Kali ini, Bu Dadang membuatkan dua gelas kopi hitam. Satu buat saya, satu lagi buat suaminya, Pak Dadang.

Tak lama, datang warga lain bergabung, ikut larut dalam perbincangan kami. “Iya, sendirian aja ke sini. Mendadak soalnya”, saya mengulang jawaban yang sama untuk dua orang yang berbeda hari itu. “Lain kali ke sininya sama istri, Kang!”, kata teman Pak Dadang. “Kan saya ke sini mau cari calonnya, Pak”, jawab saya. Kami terbahak.

Dari atas tempat berlindung, warga desa menyaksikan rumah Endit hilang ditelan air. Tidak ada orang yang berusaha menyelematkan Endit. Semuanya hanya meratapi genangan air yang sudah semakin luas dan dalam menyerupai danau. Danau yang menjadi kuburan Bagenda Endit ini kemudian disebut warga sebagai Situ Bagendit. Situ adlah kata untuk danau dalam Bahasa Sunda. Cerita rakyat menyebut, sesekali akan nampak lintah berukuran raksasa di dasar Situ Bagendit yang diyakini sebagai jelmaan Bagenda Endit si Lintah Darat.

 

 

Advertisement

33 thoughts on “Hikayat dari Lubuk Telaga”

  1. Aku suka nih dengan gaya bercerita seperti ini. Dua kisah dalam satu cerita, saling bersilang, berbeda jaman, berbeda setting, yang satu nyata, yang lainnya legenda. Jempol!

    Btw, dulu aku pernah nonton kisah legedan Situ Bagendit ini di TVRI. Agak lupa-lupa ingat sih, tapi seingatku yang versi TVRI itu nama Bagendit berasal dari nama Abah Baged dan Nyi Endit. Cuma hubungan antara mereka apa, aku juga sudah lupa. Sepertinya sih agak berbeda sedikit dari kisahmu ini. Karena di akhir kisah diceritakan kalau Nyi Endit itu mencari-cari abah Baged dan tenggelam ke danau itu.

    Jadi gimana kang Iyos, nemu calon istrinya di sekitar situ?
    Jangan-jangan malah ada yang langsung nawarin untuk dikenalin ya? hahahaha 😀

    Like

    1. Wah.. Saya malah belum denger versi cerita yang itu. Mungkin akun Lambe Turah tau hubungan mereka apa sebenarnya? Hahaha..

      Makasih, Kak Bart 🙏🙏🙏 Habis bingung mau nulis soal apa dari Situ Bagendit. Yowes, tulis cerita legendanya aja 😂

      Soal calon? Gimana? Ga jelas suaranya.. Kresek-kresek.. Halo? 😂

      Like

    2. Hahaha bisa jadi, kalaupun gak tau aslinya, mungkin dia bisa bikin 10 kemungkinan hubungan antara mereka.

      Gak usah bingung, ini udah asik nih cara cerita yang kaya gini. Maju mundur cantik lah jadinya, kalah deh Princess Syahrini 😀

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.