Batu-batu andesit hitam yang menghampar di sepanjang Jalan Braga berbunyi digilas mobil-mobil yang melintas. Jalan Braga basah. Bandung baru saja disiram hujan siang itu.
Orang pun belum terlalu ramai hilir mudik. Belasan anak muda nampak berpose membelakangi bangunan-bangunan tua di sana.
Saya menyusuri salah satu jalan tertua di Bandung, Jalan Braga, jalan yang sempat menjadi pusat toko mode para bangsawan Hindia Belanda pada sekitar tahun 1920-an. Sudah nyaris seabad, pesona Jalan Braga masih bertahan.

Kini, kawasan pariwisata Braga menjadi salah satu tempat yang ramai disambangi para wisatawan yang ingin merasakan sensasi kolonial Kota Bandung. Terutama pada akhir pekan.
Ketika berbagai penjuru Kota Bandung sibuk bersolek mengubah penampilan, Jalan Braga tetap mempertahankan pamornya sebagai kawasan klasik. Toko-toko berarsitektur khas kolonial masih berbaris. Pesona ini adalah penyulut daya tarik wisata yang membuat tempat-tempat biliar atau bar berkobar sepanjang malam. Tempat penginapan pun mulai bermunculan.
Salah satunya adalah Chez Bon Hostel yang tengah saya tuju. Untuk kedua kalinya saya akan bermalam di tempat penginapan berkonsep berbagi kamar ini.

Salah satu hal yang saya nilai tinggi dari penginapan ini adalah kebersihan yang selalu dijaga. Tidak hanya kebersihan kamar, kebersihan sudut-sudut lain seperti kamar mandi juga ikut diperhatikan. Warna putih dan abu-abu mendominasi, seakan pemilik hostel menantang diri untuk selalu menjaga kebersihan hostel setiap saat.
“Kalau kita, tiga yang utama. Keamanan, kenyamanan, kebersihan,” A. A. Sudirman menjelaskan caranya menjaga kredibilitas hostel yang dikelolanya sejak tahun 2013. Saya memanggilnya Ua Dirman. Ua sebutan dalam Bahasa Sunda yang berarti paman.
Setidaknya ada 50 kasur dalam sembilan kamar yang disewakan di Chez Bon Hostel. Kamar besar berkapasitas 16 kasur, kamar sedang berisi enam kasur, sedangkan kamar kecil hanya untuk dihuni dua orang. Setiap kasur dilengkapi dengan stopkontak universal dan lampu baca. Tentu saja, para tamu tidak mungkin beraktivitas sambil menyalakan lampu utama pada saat tamu lain hendak tidur.
Untuk mejaga para tamu tidur tenang, loker-loker disediakan di dalam kamar. Ketika tamu datang, petugas di meja depan akan memberi dua buah kunci. Kunci kamar dan kunci loker.
Selama hampir dua jam kami berbicang di sebuah kedai kopi yang berada di rooftop hostel. Warung Gunung namanya. Duduk di bangku kayu, kami berbincang seru sambil menyeruput kopi Puntang.
Di hostel, tempat untuk bersosialisasi dengan sesama tamu hostel seperti ini adalah hal yang lumrah. Para tamu hostel menginginkan pengalaman menginap yang berbeda. Berinteraksi dengan para wisatawan lain.
Saya ingat betul, ketika saya bermalam di Chez Bon Hostel beberapa bulan lalu, kedai kopi ini belum ada. Kopi Puntang baru sekitar tiga bulan menjadi teman para tamu Chez Bon Hostel berbagi cerita.

Ide menyulap rooftop menjadi tempat bersosialisasi antarsesama tamu hostel ini datang dari salah satu tamu hostel. Seorang wisatawan asing yang pernah menginap mengajukan komplain. Ia protes karena merasa terganggu dengan suara obrolan para tamu dari ruang tengah. Kritik ini lah yang menjadi hulu munculnya ide ‘memindahkan perbincangan’ ke rooftop.
Kritik ini bukan kritik semata wayang yang dicerna dan ditelan Chez Bon Hostel. Tamu-tamu dari Jerman dikenal Ua Dirman sebagai tamu yang banyak mengajukan kritik dan masukan.
“Dari kritik-kritik seperti ini kami berkembang,” Ua Dirman menceritakan kisahnya menerima kritik dari tamu asing sebagai masukan.
Kebiasaan Tamu di Hostel
Pada waktu tertentu, misalnya pada awal semester kedua, buku tamu di Chez Bon Hostel didominasi oleh wisatawan asing. Mencapai 75 persen. Sisanya, tamu lokal.
Kehadiran hostel di industri pariwisata tanah air memang masih hijau. Ua Dirman menaksir, baru ada sekitar 30 hostel di Kota Bandung. Sangat jauh jika dibandingkan dengan jumlah hotel di Bandung yang mencapai 450 unit pada tahun 2015. Apakah karena wisatawan lokal belum benar-benar akrab dengan konsep hostel?
“Belum,” Ua Dirman menambahkan, “salah satu indikatornya ya gelas habis sarapan. Mereka ga cuci sendiri”.
Hostel tentu berbeda dari hotel. Bukan hanya soal fasilitas dan konsep berbagi kamar. Hostel tidak menjanjikan pelayanan untuk memenuhi semua keperluan tamu-tamunya selama menginap.

Selayaknya hostel pada umumnya, Chez Bon Hostel juga memiliki fasilitas dapur dan kamar mandi untuk dipakai bersama. Ketika para pekerja hostel tidak dibayar untuk melayani semua keperluan para tamu, maka menjaga kebersihan dapur dan kamar mandi adalah tanggung jawab para tamu.

Salah satu harapan Ua Dirman adalah semakin banyaknya wisatawan lokal yang memahami konsep swalayan hostel. Melayani diri sendiri. Bukan. Ini bukan sekedar perkara meringankan pekerjaan para rekannya yang bekerja di Chez Bon Hostel.
Ua Dirman yakin, ini adalah masalah kebiasaan. Masalah kebiasaan masyarakat kita yang mau bertanggung jawab, mandiri, dan tidak selalu ingin dilayani.
022-4260600 / 08112015333
frontdesk@chez-bon.com
Jalan Braga nomor 45
Bandung, Jawa Barat
chez-bon.com

Bondan winarno yang diacara makan2 itu bukan? 😀
LikeLiked by 1 person
Iya, betul 🙂
LikeLike
Belajar dewasa juga bisa dilakukan sesederhana menginap di hostel ya Mas, hehe. Terus terang saya belum begitu terbiasa menginap di hostel nih, karena masih punya banyak kelemahan yang bakal bikin malu kalau sekamar dengan teman yang baru dikenal, haha (emang dasarnya malu-maluin, sih). Tapi menurut saya menginap di hostel bisa membuka dengan luas banget pemikiran, di samping belajar untuk tidak menjadi egois dengan hal-hal yang baru, hehe.
LikeLiked by 1 person
Nah, iya. Sepakat. Salah satunya belajar untuk peka untuk lakuin hal-hal yang mungkin bisa ganggu orang lain. Mulai dari ga grusak-grusuk buka kantong plastik tengah malem, sampe belajar berani ngomong Bahasa Inggris sama tamu lain. Walau sekadar nyapa.
LikeLike
Iya! Betul-betul belajar bersosialisasi.
LikeLike
ah setuju banget sama “tinggal di hostel bisa membuka luas pemikiran”. Jadi tau apa yang enggak kita mau dari orang lain dan berusaha untuk tidak jadi orang egois. Tapi saya cuma sanggup nginep di dorm seminggu abis itu stress. hahaha
Oh pelajaran dari dorm lainnya adalah jadi tahu kalau terkadang stereotype tentang pejalan dari negara tertentu itu ada benarnya juga loh. hihihi
LikeLiked by 2 people
Ah iya! Belajar untuk ga lakuin sesuatu yang kira-kira ga mau rasain sendiri. Hal-hal simpel, semacam grusa-grusu bunyiin kantong plastik tengah malem. Hehe.
Oya? Kemarin baru denger soal tamu Jerman yang ‘rewel’ banget sama masalah kebersihan sih. Hehe.
LikeLike
Iya mas Iyos. Orang Jerman itu ya… *gossip mode: on* hahaha
Kalo orang Jerman “rewel” sih kayaknya wajar ya, karena standar kehidupan mereka beda. Selama masih membangun, kritik mereka sih ya terima aja lah ya. Tapi kadang suka bikin kuping gatel kalau denger komplain untuk hal-hal sepele.
LikeLiked by 1 person
Bahahahahahaha gitu ya. Ada kenalan 1 orang Jerman, tapi pendiem abis orangnya. Anomali dari kebanyakan sifat orang Jerman ya berarti..
Lain kali kalo ada yang begitu lagi, bisikin aja: MAN-JA. Lalu pergi 😂
LikeLike
Haha iya gituin aja sambil jawil-jawil idungnya #apaan sih?
LikeLike
Itu mah colongan namanya 😂
LikeLiked by 1 person
Ahh pernah lihat logo ini sewaktu jalan di Braga tahun lalu, ternyata hostel. Baiklah next time ke Bandung akan coba menginap di sana biar jalan malam di Braga lebih mudah dan nyantai. 🙂
LikeLike
Seru kok, Mas Halim. Suasana budget traveling-nya dapet banget. Apalagi keluar hostel langsung Jalan Braga kan. Hehe.
LikeLiked by 1 person