Bicara soal sop buntut goreng di Dapur Dahapati tak melulu bicara soal empuk dan nikmatnya sop buntut goreng yang menggiurkan. Dapur Dahapati punya cerita lain. Tanpa adanya gejolak politik di Muangthai pada tahun 1300an, saya mungkin tidak akan bisa mencicipi kelezatan sop buntut Dapur Dahapati.
Jika Indonesia tidak menjadi surga rempah-rempah pada abad ke-16, mungkin bangsa Eropa tidak akan melabuhkan sauhnya di tanah air kala itu. Nyatanya, rempah-rempahlah yang menjadi salah satu incaran pemerintah Belanda melakukan ekspansi ke Asia Tenggara.
Tak dapat dimungkiri, kolonialisme -atau penjajahan- bangsa Eropa di tanah air dalam kurun waktu yang sangat lama, yakni selama 3,5 abad, telah melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang berakulturasi. Bukan hanya ketika bangsa Belanda menikah dengan bangsa pribumi dan menghasilkan keturunan peranakan Belanda, namun juga ketika kebudayaan setempat dikawinkan dengan kebudayaan Belanda dalam bidang lain, misalnya kuliner. Katakanlah, sop buntut.
Siang ini saya pulang ke Bandung, kota kelahiran saya. Tujuan utama saya, menemui beberapa kawan lama. Tujuan kedua saya, menikmati semangkuk sop buntut kesukaan saya di Dapur Dahapati. Bagi para pemburu kuliner nikmat di Bandung, Dapur Dahapati mungkin bukan nama yang asing. Rumah makan ini terletak di Jalan Raden Aria Adipati Wiranatakusumah, atau lebih mudah dikenal dengan nama lamanya, Jalan Cipaganti.

“Waktu pertama buka, sebenernya yang dijual bukan sop buntut, tapi ayam goreng”, Pak Dudi menjelaskan. Pak Dudi adalah salah satu karyawan yang sudah bekerja di Dapur Dahapati selama hampir empat tahun. Tapi kiprah Dapur Dahapati di Kota Kembang sudah dimulai jauh sebelum itu, sejak tahun 1970-an. Bahkan, keberadaan Dapur Dahapati tidak bisa dilepaskan dari sejarah Muangthai (kini Thailand) pada tahun 1300-an. Ingatkan saya untuk menjelaskan bagian ini nanti.
“Sop buntut malah baru mulai dijual di sini tahun 2000-an”, ia menambahkan. Di luar dugaan saya, menu sop buntut yang dipajang di halaman pertama buku menu ternyata baru sekitar 16 tahun diracik di Dapur Dahapati. Menu ayam goreng baru dipampang kemudian. Siapa sangka, sop buntut inilah yang justru kemudian melambungkan nama Dapur Dahapati di kalangan pencinta kuliner.

Lahan parkir Dapur Dahapati pada jam makan siang atau makan malam selalu sesak oleh kendaraan. Pada akhir pekan, kendaraan berplat B malah mendominasi, berjejer di depan Dapur Dahapati yang terletak di seberang pom bensin Cipaganti. Saya pernah berencana makan malam di sana beberapa tahun lalu dan mendapati papan kayu bertuliskan ‘SOP BUNTUT GORENG HABIS’ terpampang di pintu masuk. Mengapa sop buntut goreng Dapur Dahapati seolah memiliki daya pikat yang begitu menarik di Bandung? Kalau begitu, mari kita bicara rasa!

Bagi saya yang menyukai makanan berporsi besar, porsi sop buntut goreng di sini tergolong cukup banyak. Ketika saya memesan seporsi sop buntut goreng, maka sepiring buntut sapi goreng akan disajikan dengan potongan sayuran segar dan irisan bawang bombay yang telah digoreng. Bersama ini, disajikan pula semangkuk kuah sop dengan potongan sayur mayur segar. Sementara nasi putih, dijual secara terpisah.
Satu hal yang membuat saya rela membuka dompet cukup lebar untuk makan di sini adalah rasa buntut goreng yang begitu meresap ke setiap serat daging. Ketika daging digigit, rasa rempah yang kaya langsung membuncah di dalam mulut. Anda ingin mengajak nenek atau kakek Anda ke sini? Jangan ragu, karena tekstur buntut gorengnya pun sangat lembut untuk dikunyah, bahkan ketika dilepaskan dari tulang.

Sop yang disodorkan kepada saya juga tak kalah menggiurkan. Rasa kaldu yang kuat terasa di setiap seruput. Kuah disajikan bening seperti kuah sop pada umumnya. Irisan wortel, kentang, dan tomat berbaur di sana, dimasak dengan waktu yang cukup sehingga tidak terlalu lembek.

Dengan suasana yang tenang di bawah langit-langit menjulang khas Belanda, saya membayangkan, pemilik rumah makan ini adalah seorang keturunan Belanda. Saya salah, pemilik rumah makan yang juga membuka cabang di Jalan Anggrek ini adalah seorang peranakan Thailand. Ibu Rose adalah salah satu keturunan pendiri Dapur Dahapati yang kini menjadi pengelola.
Sebelum saya berpamitan, Pak Dudi sempat menuturkan bahwa keluarga pemilik Dapur Dahapati adalah keturunan dari salah satu pangeran di Kerajaan Muangthai. Ialah Pangeran Patibatra Shukumbhand, yang sempat diasingkan ke Bandung pada tahun 1930-an dan menempati rumah di sana, rumah yang kini kerap dikunjungi para pencinta kuliner menikmati sop buntut Dahapati.

Saya menerka, nama ‘pati’ dalam ‘Dahapati’ adalah sebuah cara mengenang nama Pangeran Patibatra. Lalu, apa arti dari kata ‘daha’? Saya tidak menemukannya di kamus Bahasa Thailand. Mungkin, satu siang nanti saya bisa menanyakannya kepada Ibu Rose yang belum bisa saya temui saat ini.
Saya cuma membaca ulasannya disini, tapi bisa merasakan dan membayangkan enaknya Sop buntut goreng di Dahapati…suka dengan tulisan-tulisan Pak.Iyos, bener-bener bisa buat belajar menjadi seorang penulis blog yang sesungguhnya disini..
LikeLike
Rasa aslinya harus coba. Kalau mampir ke Bdg, silakan mampir. Hehe. Makasih untuk pengharaannya, Mas/Mba. Saya banyak belajar dari beberapa blogger yang saya follow juga. Hehe. Maaf saya ga bisa akses alamat web arikus.net. Kenapa ya?
LikeLike