Cerita Perjalanan

Menggali Pusara

Cahaya matahari berlimpah siang itu. Angin yang berhembus membuat suasana sedikit sejuk. Terkadang, ada aroma bunga kamboja yang menumpang mengendarai angin. Sedikit menghidupkan kembali suasana permakaman. Saya berdiri di antara batu-batu nisan. Orang biasanya datang ke permakaman untuk berziarah. Namun tidak di sini. Mungkin itu sekitar setengah abad lalu. Orang datang ke sini untuk berwisata kini. Permakaman ini sudah menjelma menjadi sebuah tempat wisata. Museum Taman Prasasti namanya.

Patung yang Bercerita

Seorang penjaga museum berpakaian pegawai negeri sipil menyapa dari balik meja di sebuah ruangan. Ruangan kecil yang ternyata pernah digunakan sebagai tempat singgah jenazah-jenazah pria sebelum memasuki liang lahat. Ruangan ini menghadap ruangan lain, yang dulu digunakan bagi jenazah wanita. “Sepi kalo hari ini, weekend rame”, katanya sambil menyodorkan dua lembar karcis kepada saya. Ya, memang sepi siang itu. Saya bisa dengan leluasa memotret.

https://www.instagram.com/p/-i8QatDxal/

Batu-batu nisan dan patung-patung yang didominasi warna putih menyambut saya. Melihat sekilas saja, saya bisa menerka: biaya pemakaman di sini mahal. Tidak semua orang bisa dimakamkan di sini. Batu-batu nisan dikirim dari India dan Italia. Pun sama untuk patung-patungnya. Salah satunya adalah patung seorang perempuan yang sedang menangis. Tertulis: Milan, Italia. “Perempuan ini lagi nangisin suaminya. Suaminya meninggal karena malaria, ga lama setelah mereka menikah. Dia nangis terus, ga kuat, akhirnya bunuh diri”, kata Pak Yudi.

1100202
Satu dari dua patung wanita menangis di Museum Taman Prasasti.

Pak Yudi adalah seorang pemandu wisata di Museum Taman Prasasti. Sudah lebih dari 10 tahun ia menjadi satu-satunya pemandu di sini. Eko Wahyudi nama lengkapnya. “Patung-patung di sini menceritakan kisah hidup orang yang dikubur di bawahnya,” ia mencoba menjelaskan.

Kali ini ia mengajak saya bergeser ke sebuah batu nisan dengan patung buku di atasnya. STOVIA. School tot Opleiding van Indische Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia). Cuma itu tulisan yang akrab di ingatan saya. Sisanya, nama-nama yang tidak saya kenal. Ini adalah batu nisan orang yang pernah berjasa memajukan pendidikan kedokteran di Hindia Belanda, dr. HF Roll. Sebelum sekolah kedokterannya berdiri, para ahli kesehatan di Batavia sulit mendapat pegakuan dari masyarakat. Sekolah kedokteran itu kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jalan Salemba. Roll juga adalah salah seorang namanya dikenal dalam pembentukan organisasi Budi Utomo. Roll sempat membela Sutomo, yang ditentang pemerintah Hindia Belanda karena pendirian organisasi Budi Utomo. Ya, patung-patung di sini tak ubahnya karya-karya seni yang memiliki makna tertentu, menyimpan cerita-cerita, dan wujud ekspresi dari para pemahat.

1100189.jpg
Prasasti berbentuk buku, simbolisasi cerita hidup direktur sekolah kedokteran STOVIA, dr HF Roll. Roll dianggap berjasa dalam memajukan ilmu kedokteran di Hindia Belanda.
1100209.jpg
‘Makam’ keluarga van Delben. Jenazah semua anggota keluarganya tidak dikebumikan, melainkan diletakkan dalam peti-peti mati di dalam bangunan kecil ini.
PicsArt_11-25-08.08.17
Makam berbentuk bangunan. Ini adalah makam Marius Hulswit, salah seorang arsitek yang mengerjakan pembangunan Gereja Katedral Jakarta.

Membaca Nisan

Ada setidaknya 1.300 batu nisan yang tersebar di 10 blok permakaman di Museum Taman Prasasti. Orang-orang yang dimakamkan di sini pada umumnya adalah para pejabat Hindia Belanda, pejabat Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC), petinggi-petinggi militer Hindia Belanda, hingga saudagar-saudagar besar. Setiap makam memiliki tanda pengenal. Nama serta tanggal kelahiran dan tanggal kematian? Tentu saja. Ada simbol-simbol lain yang menjelaskan status sosial atau pencapaian-pencapaian pemilik makam semasa hidup.

Saya membayangkan, Museum Taman Prasasti ini bisa menjadi surga bagi para pencinta sejarah yang selalu haus cerita masa lampau. Mereka akan girang untuk memelototi setiap simbol yang terukir di prasasti, ‘menggali’ makam lebih dalam, mencari data, dan menyimpannya di dalam ruang informasi yang selalu mereka rasakan kosong. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menelaah semua prasasti di sini.

1448506043286
1. Kuda melompat ke samping, berarti jiwa yang sudah bebas meninggalkan raganya. 2. Helm perang berterali, berarti bangsawan. 3. Baju zirah, berarti Ksatria. 4. Daun akantus, berarti hidup abadi, kekal. 5. Ada yang tahu makna simbol skull and bones ini? 🙂
PicsArt_11-25-07.53.57
Lambang skull and bones banyak ditemui di Museum Taman Prasasti.
PicsArt_11-25-07.54.47
Simbol bintang segi enam.
PicsArt_11-25-07.57.03
Simbol ular yang melingkar menggigit ekor sendiri di prasasti Jenderal Kohler, pejabat militer Belanda yang tewas dalam pertempuran di Aceh.

Secara garis besar, prasasti di sini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok. Prasasti dari orang-orang yang dimakamkan di sini dan prasasti orang-orang yang makamnya dipindahkan ke sini. Prasasti orang-orang yang dimakamkan di sini terlihat jelas. Bentuk prasastinya lebih tinggi, sekitar setengah meter. Permukaannya pun tidak mendatar sempurna, melainkan agak miring.

PicsArt_11-25-07.52.11
Prasasti ‘asli’ Kerfhof Laan berbentuk meninggi, berbeda dari prasasti pindahan yang cenderung berbentuk ceper.

Sementara, prasasti yang dipindahkan berbentuk lebih ceper, menempel pada tanah. Ada nomor urut yang diukir di prasasti untuk proses pendataan. Pada ujung-ujung prasasti yang dipindahkan, ada empat gelang baja. Untuk mengangkat saat dipindahkan? “Bukan. Orang Belanda dulu kalau ada yang baru meninggal, akan dikubur ke kuburan anggota keluarganya. Jadi supaya gampang buka-tutup lubang makam. Tapi itu dulu, sebelum permakaman umum ini dibangun”, jelas Pak Yudi. Sistem permakaman buka-tutup inilah yang kemudian menjadi salah satu cikal bakal pembangunan permakaman umum Kerfhof Laan, atau Kebon Jahe Kober, yang kini menjadi Museum Taman Prasasti.

PicsArt_11-25-07.57.52
Tidak hanya pejabat Hindia Belanda, beberapa saudagar besar pun dimakamkan di Kerkhof Laan. Bahkan, saudarar Eropa non-Belanda.
PicsArt_11-25-08.02.26
Prasasti dengan keterangan tahun meninggal dunia di bawah tahun 1795, salah satu penanda bahwa prasasti ini dipindakan dari permakaman lain ke Kerkhof Laan.
PicsArt_11-25-07.50.28
Gelang baja pada ujung prasasti untuk mengangkat penutup lubang kubur.

Kerkhof Laan dalam bahasa Indonesia berarti tanah permakaman. Kerfhof Laan dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda di Kota Batavia pada tahun 1795 atas desakan kebutuhan lahan permakaman. Sekitar tahun 1733-1795, setidaknya 85.000 serdadu dan pejabat VOC tewas karena wabah malaria.

Agar lebih mudah dicerna: selama rentang waktu itu, sekiranya tiga sampai empat orang meninggalkan dunia karena sakit malaria, setiap hari. Pembangunan kolam-kolam ikan di pesisir Batavia menjadi tempat nyamuk-nyamuk anopheles berkembang biak. Belum lagi sistem pemakaman yang saya sebut di atas, sistem buka-tutup penutup liang lahat yang dianggap tidak memerhatikan kebersihan dan potensi berkembangnya sumber penyakit.

Pada kala itu, jenazah biasanya dimakamkan oleh pihak keluarga di tanah-tanah permakaman keluarga atau di tanah gereja. Misalnya di Gereja Sion dan Gereja Belanda Baru (kini Museum Wayang). Namun, karena lahan permakaman kian sempit, pemerintah Hindia Belanda pun melarang proses pemakaman di permakaman keluarga dan di tanah gereja. Maka, dibukalah Kerfhof Laan untuk memindahkan makam-makam dari tanah gereja.

PicsArt_11-25-08.07.02
Sebagian besar orang yang dimakamkan di Kerkhof Laan meninggal dunia pada usia muda. Bukan karena peperangan, melainkan wabah penyakit.
PicsArt_11-25-07.58.54
Salah satu prasasti dari orang yang meninggal setelah tahun 1945.

Lokasi Kerfhof Laan dianggap strategis, dekat dengan air. Mengapa air? Proses pengangkutan jenazah ke Kerfhof Laan pada kala itu memanfaatkan aliran Kali Krukut. Jenazah dibawa dengan perahu dari Binnen Hospital (sekarang  Museum Bank Indonesia), dua kali sehari, dan dijemput untuk dibawa ke tanah permakaman dengan kereta jenazah. Tempat penjemputan jenazah ini kini menjadi lokasi berdirinya Kementerian Komunikasi dan Informasi. Sementara, kereta-kereta jenazah yang sempat digunakan kini dipamerkan di teras dan di tengah Museum Taman Prasasti.

PicsArt_11-25-07.56.04
Bagian depan kereta jenazah. Dengan kereta ini, jenazah-jenazah yang dari Sungai Krukut dibawa ke Kerkhof Laan.

Nama Aktivis dan Presiden 

Langkah kaki kami terhenti di depan sebuah patung malaikat. Batu nisan seorang aktivis mahasiswa. Pada batu nisannya tertulis:

Nobody knows the troubles I see. Nobody knows my sorrow.

Pikiran saya melayang tidak terlalu jauh. Saya tidak berusaha mengingat kegundahan apa yang aktivis ini suarakan dalam aksi unjuk rasa, yang menurutnya tidak dilihat orang lain. Pikiran saya tertahan hingga beberapa menit sebelum ia meninggal saja. Saya yakin, perjuangan melawan asap racun di Puncak Mahameru adalah perjuangan luar biasa melawan maut. Pada baris paling atas di batu nisan tadi tertulis: Soe Hok Gie.

PicsArt_11-25-08.00.41
Patung malaikat banyak ditemui di Museum Taman Prasasti. Salah satunya, patung malaikat di prasasti Soe Hok Gie.
PicsArt_11-25-08.01.25
Soe Hok Gie sempat dimakamkan di Kerkhof Laan setelah jenazahnya dipindahkan dari Permakaman Menteng Pulo. Pada 1975, makamnya dibongkar kembali. Jenazah Soe Hok Gie dikremasi.

Tunggu. Saya sangat yakin, jenazah Soe Hok Gie tidak terbaring di sini. Raga Soe Hok Gie sudah menjadi abu. “1795, permakaman ini ditutup sama Gubernur Ali Sadikin. Terlalu penuh. Semua jenazah dipindahin. Kebanyakan ke Permakaman Umum Menteng Pulo. Kedutaan Belanda juga masih suka kasih uang perawatan kok. Kan leluhurnya. Beberapa sisanya dipindah ke TPU lain. Ada juga yang dibawa keluarganya ke Belanda. Sisanya, dikremasi. Termasuk Gie”, Pak Yudi menjelaskan panjang lebar. “Dia yang mau, abunya disebar di atas gunung”, lanjutnya, seolah penjelasan panjang lebarnya tadi belum membuat saya terkesima.

Pembongkaran Kerkhof Laan memakan waktu sekitar dua tahun, dari 1975 sampai 1977. Luas area permakaman pun dikurangi, semula lebih dari 5 hektar, kini tersisa 1,3 hektar. Kantor Walikota Jakarta Pusat yang terletak di selatan Museum Taman Prasasti berdiri di lahan bekas Kerkhof Laan. Dari sekitar 4.600 prasasti pun, kini tersisa sekitar 1.300 saja.

Menurut Pak Yudi, ada anggota keluarga Soe Hok Gie yang masih kerap datang ke prasasti Soe Hok Gie pada setiap haul. Bahkan, wisatawan-wisatawan Belanda terkadang datang ke sini. Berusaha menemukan mata rantai keturunan yang hilang. Ternyata, beberapa di antaranya memiliki ikatan biologis dengan orang yang namanya tertera di prasasti-prasasti di sana.

Soe Hok Gie bukan warga Indonesia semata wayang yang sebagian cerita hidupnya diawetkan di Museum Taman Prasasti. Ada orang lain: Soekarno. Tunggu. Soekarno juga tidak dimakamkan di Jakarta. “Bukan, ini peti mati yang pernah dipakai Soekarno, dari rumah sakit ke rumah duka”. Peti mati yang pernah digunakan Soekarno ini disimpan di tengah area museum. Di sebelahnya, peti mati yang tidak jadi digunakan untuk Hatta. Ya, di tengah-tengah permakaman bangsa Belanda yang kala itu menjadi musuh Soekarno.

Peti mati ini sebenarnya bukan milik keluarga Soekarno, melainkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dulu, peti ini adalah fasilitas dari Yayasan Palang Hitam, sebuah yayasan swasta yang mengambil alih kepengurusan Kerkhof Laan setelah Belanda angkat kaki dari Indonesia. Kerfhof Laan pun akhirnya diserahkan Yayasan Palang Hitam kepada pemerintah DKI, beserta isinya, termasuk peti mati Soekarno. “Jadi ya ngga ada anggota keluarga Soekarno yang protes kok petinya disimpan di tengah makam orang Belanda”, kata Pak Yudi menutup topik ini.

1100205
Peti mati yang sempat digunakan untuk jenazah Soekarno (kanan) berdampingan dengan peti mati yang batal digunakan untuk jenazah Hatta.

Sayap-sayap Patah

Tidak, saya tidak sedang membahas salah satu judul syair pujangga termahsyur Kahlil Gibran. Ini adalah sayap payung malaikat yang patah. Nampaknya bukan hanya manusia saja yang tidak sempurna. Patung malaikat di sini juga, beberapa. Saya menemukan beberapa patung malaikat dengan tangan patah. Ada pula patung malaikat dengan kepala potong. Patung tanpa kepala ini lebih membawa kesan menyedihkan daripada menyeramkan.

Tiga bulan lalu, salah satu pohon besar di Museum Taman Prasasti tumbang. Naas, ada patung yang tertimpa, patung pastur H van der Grinten. Patung pastur masih utuh, namun bagian tugu yang menopang patung pastur hancur. Kini diganti dengan tugu replika. Semoga pohon-pohon lainnya sudah diantisipasi agar tidak tumbang menimpa patung atau prasasti lain.

Masih ada barang replika lain di sini. Replika kecil lonceng di halaman depan museum. Bisa dibilang miniatur, karena Pak Yudi yakin, lonceng aslinya berukuran besar. Suara lonceng yang asli, bisa terdengar sampai ke kantor pemerintahan Batavia yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta, atau Museum Fatahillah. Lonceng ini dibunyikan setiap ada jenazah yang akan tiba di Kerkhof Laan pada saat itu. Memberi tahu para petugas permakaman untuk mempersiapkan proses pemakaman. Saya jadi ingat lonceng lain di Jakarta. Lonceng yang justru berbunyi saat akan dilaksanakan hukuman mati di depan umum. Ceritanya ada di sini.

PicsArt_11-25-07.59.49
Salah satu bentuk vandalisme di Museum Taman Prasasti.

Saya sempat sedikit singgung di atas, bagi sebagian orang, Museum Taman Prasasti bisa jadi surga untuk mencari informasi. Sayangnya, bagi sebagian orang pula, entahlah, saya menemukan corat-coret vandalisme di salah satu prasasti. Mengapa tidak menuliskan nama sendiri di kolom nama jenazah saja kalau berani? Sedikit tergelitik, pada era kecanggihan komunikasi dan informasi seperti saat ini, masi ada orang yang berusaha mencari cara untuk mencari eksistensi dengan mencorat-coret fasilitas publik.

Ingin rasanya menampar wajah para vandalis dengan buku Bagaimana Cara Memanfaatkan Media Sosial untuk Eksis atau buku dengan judul sejenisnya. Dalam hal ini, saya tidak peduli latar belakang orang yang pernah dimakamkan di sana, keberadaan jasadnya kini, atau nilai sejarah suatu batu nisan. Batu nisan adalah simbol tanah permakaman seseorang. Saya tidak mau ada anggota keluarga saya yang sedih ketika menemukan batu nisan saya dirusak, suatu hari. Sebuah tulisan yang saya temui ketika hendak meninggalkan Museum Taman Prasasti membuat saya merenung beberapa detik.

PicsArt_11-25-07.55.21

SOO GY. NU SYT. WAS. IK VOOR DEESEN DAT. JK, NV BEN SVLT GY OOK WEESEN
 
Like you are now, I was before. And like I am now, thus you will be one day

40 thoughts on “Menggali Pusara”

    1. Iya. Mas di mana memang? Museum ini tutup hari Senin, Mas. Silakan dateng Selasa-Minggu. Hehe..

      Pernah baca beberapa tulisan yang nyangkut pautin skull and bones dengan freemasonry. Entah.

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.