”Amuknya delapan abad lalu dilupakan. Masyarakat tergiur dengan pesona Rinjani kini. Tak banyak yang ingat, Dewi Anjani masih memiliki Barujari yang bisa murka suatu hari”.

Suara mesin pembuat kopi di sudut ruangan bergemuruh. Derunya seperti ikut menggiling beberapa bagian syair lagu jazz berjudul Fever yang dinyanyikan seorang perempuan bersuara serak. Aroma kopi perlahan merambat ke penjuru ruangan. Saya sengaja datang ke sini, ke sebuah kedai kopi di satu sudut Jakarta. Memaksa diri merampungkan hutang tulisan saya tentang Rinjani, sebelum saya banyak lupa akan pesona kerajaan Dewi Anjani di Lombok sana.
Ah, saya masih ingat sensasi kopi Sembalun yang menyisakan jejak rasa cokelat di lidah. Tapi kali ini, bukan kopi Sembalun yang akan saya seruput sambil menulis. Aroma kopi yang lebih lembut terhirup ketika saya menyeruput kopi latte. Saya membayangkan kembali berada di sisi perkebunan kopi di Sembalun.
Dua bulan lalu, saya sedang melintasi perkebunan kopi dan kentang di Desa Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Ada anak-anak sekolah tak berhelm, hilir mudik menunggangi sepeda motor menuju sekolah. Ada pula wanita-wanita suku Sasak lalu lalang hendak ke kebun. Bercocok tanam adalah satu mata pencaharian utama warga Desa Sembalun.
Biasanya beberapa penduduk setempat mengisi waktu luangnya sebagai porter pendakian, atau guide pendakian, sambil menunggu musim panen tiba. Sambil melintasi perkebunan kentang, imajinasi membawa saya kembali ke sekitar 800 tahun lalu.
Tak terbayang dahsyat amuk Gunung Samalas, yang menurut para vulkanolog, sempat membuat gagal panen di Eropa. Erupsi Gunung Samalas pada tahun 1257 menjadi salah satu letusan gunung berapi yang dianggap ‘bertanggung jawab’ atas sejarah peradaban manusia.
Para vulkanolog menyebut, abu letusan Gunung Samalas menyebar hingga ke dua kutub dunia. Surono, mantan kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, menyebut kedahsyatan amuk Gunung Samalas kiranya mencapai 1.000 kali letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah pada tahun 2010.
Saya menutup lamunan, sambil membuat kesimpulan sendiri: tak heran, letusan Gunung Samalas yang kini menyisakan Segara Anak di lereng Gunung Rinjani, dianggap sebagai penyebab runtuhnya Kerajaan Lombok pada abad ke-13.
Pucuk Gunung Rinjani pagi itu berwarna kemerahan, terlihat jelas dari Desa Sembalun ketika saya akan memulai pendakian. Kali ini imajinasi membawa saya terbang ke Planet Mars. Besok, mungkin saya akan berkostum super tebal, tertatih-tatih menjajaki puncak Gunung Rinjani seperti astronot di planet merah.
Puluhan artikel dan video tentang pendakian Gunung Rinjani sudah saya lahap, tapi tetap saja jantung berdegup, menanti kejutan-kejutan yang menanti di balik perbukitan di depan saya.
Imajinasi saya seketika terhenti ketika mobil bak terbuka yang saya tumpangi berhenti di depan pintu gapura pendakian. Puncak Rinjani nampak tak jauh dari sini. “Dekat di mata, jauh di kaki, Mas”, kata Pak Hendrik, porter yang menemani pendakian kami, mencoba bercanda. Kelakar yang mungkin meruntuhkan hati sebagian pendaki. Saya tertawa.

Jadi, target saya adalah bermalam di Plawangan Sembalun malam itu. Saya dan tujuh teman perjalanan saya berjalan baris-berbaris, melintasi sabana Sembalun, menembus hamparan alang-alang yang seakan tak berujung. Jalan kadang menanjak, kadang menurun. Jauh di depan sana, barisan rombongan lain terlihat berbaris, seperti ular meliuk di rerumputan kuning.
“Kering. Udah sekitar empat bulan ngga ujan”, kata Pak Hendrik. Saya membayangkan hijaunya padang rumput di sini ketika musim hujan. Semakin lama, medan pendakian pun semakin menanjak. Saya teringat, salah seorang penulis pernah menyebut bahwa Sembalun berasal dari kata sembah dan ulun, yang berarti menyembah yang lebih tinggi.

Saya yakin, Dewi Anjani yang bertahta di puncak sana tidak pernah melakukan riset atau menyebar kuesioner mengenai tingkat kejenuhan para pendaki meniti Sembalun. Saat itu saya mulai kelelahan. Pesona kuning sabana hampir tak kuasa lagi menyogok kaki untuk tak merasa lelah. Tapi nyatanya, Rinjani menyuguhkan sensasi menikmati panorama berbeda selepas kami meninggalkan pos peristirahatan ketiga.
Jika sebelumnya, kami seperti berjalan di atas karpet kekuningan yang sangat luas, selepas itu sabana berganti perbukitan. Pucuk pepohonan pinus di hadapan kami seperti menyundul awan. Warna kuning alang-alang dan hijau pepohonan semakin samar di kejauhan, pertanda kabut mulai turun. Kami semakin tinggi. Semakin dekat dengan tujuan kami malam ini, Plawangan Sembalun. Kawanan kera kadang terlihat. Beberapa kera menggendong anaknya memanjat pohon, seolah tak jemu untuk menikmati Rijani dari ketinggian, atau mungkin mengamati kami. Tingkah laku kawanan kera ini menjadi tontonan kami di pos tiga, sambil beristirahat, sebelum mendaki medan berikutnya, Bukit Penyesalan.
Menggapai Singgasana Dewi Anjani

Pukul 07:00. Sesuai kesepakatan, kami akan menghabiskan hari kedua kami di Plawangan Sembalun. Badan ini perlu relaksasi, dan untungnya, kami punya waktu. Dari dalam tenda, orang bicara di luar tenda terdengar. Beberapa berbahasa Indonesia, tentu saja. Tapi bahasa asing pun menjadi hal yang akrab di telinga selama berada di Rinjani. Ya, berbeda dari Gunung Semeru, Gunung Rinjani punya pesona sendiri di mata pelancong-pelancong mancanegara. Kenapa? “Dekat dengan Bali, kita sedang dalam perjalanan mengelilingi Asia, dan ada beberapa tempat yang kami tuju di Lombok. Rinjani dan Ijen adalah favorit kami”, Idona, pendaki dari Swis, menjelaskan kekagumannya pada Rinjani.
Idona dan suaminya sudah mengisi empat bulan terakhirnya di beberapa negara di Asia, dan petualangan di Lombok akan menutup perjalanan mereka. Cukup menggelitik, Idona tak hanya kagum pada keagungan Rinjani, tapi juga pada tongkat narsis. Saya tersenyum ketika menulis ini, membayangkan bagaimana Idona begitu bersemangat mencoba menggunakan tongkat narsis yang kami pinjamkan.


Plawangan Sembalun adalah punggung dari puncak Bukit Penyesalan, tempat para pendaki mendirikan kemah sebelum menjajaki puncak Rinjani. Di sisi kiri Plawangan Sembalun, keangkuhan puncak Rinjani semakin jelas terlihat. Di sisi kanan, di bawah sana, Segara Anak begitu anggun menyapa. Sebuah gunung kecil berwarna cokelat tua ada di tengahnya, gunung yang terus tumbuh tinggi di tengah kaldera sisa letusan Gunung Samalas.
Puncak Rinjani berada di ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dengan ritme perjalanan kami yang cenderung lambat, perjalanan dari Plawangan Sembalun menuju puncak Rinjani kami tempuh selama lima jam. Saya memang tidak berencana menyaksikan terbitnya matahari dari puncak. Di atas puncak pasti dingin karena angin berhembus kencang. Saya tak akan terlalu kuat berada lama di puncak untuk menunggu hari cerah dan berfoto di puncak. Saya lebih memilih untuk menikmati sunrise di tengah perjalanan, dan menikmati puncak ketika langit sudah cerah. Semakin cerah, pemandangan pun semakin jelas terlihat. Ternyata, jalur pendakian menuju puncak Rinjani adalah bibir kaldera Gunung Samalas. Kawah seluas 51 km2 dengan kedalaman 800 meter. Dengan ketinggian Gunung Samalas 4.200 meter, saya menghitung, berarti letusannya delapan abad lalu telah meluruhkan separuh Gunung Samalas!
Kami mengitari, mungkin, separuh sisi bibir kaldera, sampai kami berada di puncaknya, atau di titik tertinggi dari bibir kaldera Rinjani. Medannya berkerikil. Butuh upaya lebih besar untuk mendaki di sini, karena para pendaki akan sedikit terperosok setiap kali memijakkan kaki. Di sepanjang perjalanan menuju puncak, tak jarang saya temui bunga sandar nyawa tumbuh liar.
Masyarakat setempat percaya, bunga sandar nyawa adalah hiasan kerajaan Dewi Anjani. Berani memetik? Anda akan berurusan dengan Dewi Anjani. Mungkin pulang tinggal nama. Itulah kepercayaan mereka, kepercayaan yang saya lihat sebagai salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat untuk menjaga keseimbangan ekosistem di Gunung Rinjani. Para pendaki mengenal bunga sandar nyawa dengan nama edelweiss. Bagi Dewi Anjani, mungkin edelweiss begitu cantik, tapi saya jauh lebih terkesima dengan panorama Segara Anak dari puncak gunung. Pemandangan menakjubkan 360 derajat!




Segara Anak adalah sebuah kaldera, sisa letusan Gunung Samalas sekitar delapan abad lalu yang menyisakan danau, dan Gunung Barujari di tengahnya. Segara Anak menjadi salah satu sumber kehidupan di Gunung Rinjani. Para pendaki dapat memancing ikan mas di sana, penduduk setempat lebih akrab menyebut ikan mas dengan nama ikan karper.
Jika Segara Anak adalah sebuah danau yang terbentuk akibat erupsi, lalu dari mana datangnya ikan? “Bu Tien Suharto yang bawa ikannya ke sini”, kata Pak Hendrik. “Pake helikopter ke sininya”, lanjut Pak Hendrik, membalas kedua mata saya yang membelalak, seperti bisa membaca pikiran saya. Entah benar atau tidak, jika pun benar, Pak Hendrik tidak memiliki informasi lebih jauh soal ini. Tak sabar ingin segera berbaring, menyerahkan diri pada gravitasi di rerumputan Segara Anak.
Untuk menuju Segara Anak, saya harus melalui medan menurun. Nampak seperti tebing yang sudah dibuat jalur bagi para pendaki. Beberapa kali saya harus memastikan batu yang akan saya injak benar-benar kokoh untuk berpijak. Ini adalah jalur yang —menurut saya pribadi— berbahaya dan meletihkan bagi para pendaki. Tapi tenang, ada kejutan di bawah sana. Danau Segara Anak? Bukan. Itu sudah pasti. Kali ini saya merujuk pada pemandian air panas di dekat tempat perkemahan Segara Anak. Uap dari tempat pemandian mengepul tinggi pada malam itu.
Suara aliran air yang mengalir dari celah bebatuan kadang hilang tertutup canda tawa beberapa pendaki yang tengah berendam. Para pendaki memanfaatkan sumber air panas ini untuk melemaskan kaki –dan badan, jika berani merendam badan di sini– setelah menempuh perjalanan.
Saat itu saya berendam bersama dengan beberapa pria yang nampak sebagai penduduk setempat. Kain putih membelit sebatas pinggang. Mas Eko salah satunya. Ia adalah warga Desa Senaru yang sengaja datang ke sumber air panas di Gunung Rinjani untuk mengikuti ritual pemandian suci. Mayoritas masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok beragama Islam. Tapi tetap, kepercayaan adat masih melekat dalam kehidupan mereka. Terutama bagi mereka yang hidup di lereng gunung, yang masih meyakini dan menjaga spiritualitas hubungan manusia dengan alam. Mas Eko percaya, ritual pemandian akan membersihkan diri manusia dan membuatnya menyatu dengan alam.
“Ibarat keris, Mas. Itu harus dibakar di api biar makin kuat. Kalau kerisnya bagus, dia ndak akan lebur”, Mas Eko nampak bersemangat bercerita.
Tapi badan ini bukan keris, tak kuat saya berlama-lama berendam. Toh rasa kantuk dan lapar juga yang akhirnya membawa saya kembali ke kemah.
- Salah seorang porter pendakian sedang memancing ikan di Danau Segara Anak.
Kami berkemah di depan Segara Anak. Sengaja memilih lokasi yang agak jauh, agar tidak terlalu ramai dan agar tidak terlalu kotor. Nyatanya, masih ada saja sampah sisa makanan yang mengambang menghampiri kami. Entah apa sulitnya menghabiskan nasi, atau setidaknya memasukannya ke kantong pelastik untuk dibawa pulang. Tak jauh dari tenda kami, beberapa pemuda mandi di danau sambil membilas sabun di sekujur tubuhnya.
Udara dingin kala itu. Saya menyelinap ke dalam tenda. Mengeluarkan kepala dari pintu tenda, seperti kura-kura. Di depan saya, Gunung Barujari bertahta di tengah danau. Kabut mulai datang dari sisi selatan, seperti mau menyembunyikan Gunung Barujari. Alam tetaplah alam, selalu menyimpan misteri. Seperti Gunung Barujari menyimpan ancaman letusan di balik cadar pesonanya. Suatu hari mungkin saya kembali ke Rinjani, sambil menyeruput kopi Sembalun yang bercita rasa cokelat. Bukan secangkir latte seperti yang sedang saya nikmati saat ini.
Rekomendasi:
- Saya merekomendasikan pendakian dilakukan melalui jalur Sembalun, dibandingkan melalui jalur Senaru. Cenderung lebih aman. Jalur dari Plawangan Senaru menuju Segara Anak adalah tebing curam.Para pendaki akan disuguhkan pemandangan Segara Anak (yang wow!) ketika menuruni Plawangan Senaru menuju Segara Anak. Menghibur, tapi bisa membuat konsentrasi buyar.
- Sumber air di jalur Senaru sempat kering pada bulan Agustus 2015 (karena kemarau), disarankan membawa air minum lebih jika akan mendaki lewat jalur Senaru.
19 thoughts on “Kerajaan Dewi Anjani”