Cerita Perjalanan

‘Solo Hiking’ Gunung Lawu Jalur Cetho

Selasa pagi di Dusun Cetho, Karanganyar, begitu syahdu. Kabut mendekap gapura Candi Cetho lekat-lekat. Dari tempat saya berdiri, nampak beberapa pengurus candi tengah membersihkan pekarangan candi. Saya lantas berbelok ke jalan menuju jalur pendakian.

“Air di Gupakan kosong, ya?”, tanya saya pada petugas di pos pendaftaran pendakian Gunung Lawu.

“Kosong, Mas. Lagi kering”, terangnya sambil menerima secarik surat izin masuk kawasan konservasi (simaksi) Gunung Lawu yang saya sodorkan, “sumber air cuma ada sebelum pos 3. Ada pipa air” , lanjutnya.

Setelah menyerahkan kembali simaksi, saya diberi sehelai peta pendakian. Pada halaman belakangnya, tertera penjelasan medan perjalanan, jarak, serta waktu tempuh antarpos pendakian. Saya membacanya sekejap, lantas memasukkannya ke kantung celana.

Pos pendaftaran Lawu via Cetho.jpeg
Sisa dupa di pos pendaftaran pendakian.

Sebenarnya, Gunung Lawu tidak pernah masuk ke dalam daftar tujuan pendakian saya tahun ini. Ketika permohonan cuti disetujui atasan, saya malah berencana untuk mendaki Merbabu atau Sindoro. Entah apa yang memanggil Lawu masuk ke pikiran saya kala itu.

Ketika saya meriset jalur Gunung Lawu, hati saya langsung terpikat dengan jalur Cetho (atau Ceto). Berbeda dengan jalur pendakian lainnya di Gunung Lawu, jalur Cetho dikenal lebih sepi dan alami, selain disebut juga lebih sulit.

Sial, ternyata banyak pula yang menulis Cetho sebagai jalur terangker di Lawu. Sempat ciut saya dibuatnya. Beberapa kali saya membayangkan berkemah pada malam hari. Sendirian, di tengah hutan. Nampak gila. Saya hampir mencoret Gunung Lawu saat itu. Kalau saja tidak terpikat foto-foto sabana jalur Cetho, saya tidak akan berangkat ke sana.

jalur lawu via cetho.jpeg
Jalur pendakian Gunung Lawu melalui Cetho tidak konstan menanjak, banyak jalur datar yang saya temui.

Apa yang saya dapatkan sesuai dengan harapan dan perkiraan: jalur pendakian yang sangat rindang, suasana pendakian yang senyap dan tenang. Bulan puasa sungguh membuat jalur pendakian sepi dari pendaki. Benar-benar sepi, saya katakan.

Hanya ada dua pendaki lain yang mendaftar bersamaan dengan saya pagi itu. Sedikit lega, saya bukan satu-satunya pendaki saat itu, walau keduanya tidak akan berkemah dan akan kembali turun pada siang hari. Firasat saya langsung mengatakan: saya benar-benar akan berkemah sendirian malam itu.

pohon keramat gunung lawu via cetho.jpeg
Pohon di pos 2, diyakini sebagai pohon yang disakralkan di jalur pendakian Cetho.

Saya sengaja membiarkan keduanya memulai pendakian terlebih dahulu, tidak meminta bergabung dengan mereka. Selain karena tujuan saya adalah mendaki sendirian, saya juga tidak mau menjadi beban buat mereka. Tas punggung seberat dosa ini memperlambat pergerakan saya. Berbeda dengan mereka yang membawa beban lebih ringan karena tidak berencana berkemah.

Di luar dugaan saya, saya mendapat seekor teman pendakian! Ya, seekor, saya tidak salah ketik. Namanya Gori, anjing yang saya ajak main di pos pendaftaran pendakian ternyata mengikuti saya berjalan menempuh Lawu.

Belakangan, saya baru tahu ada anjing-anjing lain selain Gori yang sudah biasa mengikuti dan menemani para pendaki lain di Gunung Lawu. Saya baru tahu setelah saya mengunggah foto saya bersama Gori di salah satu grup pendakian di Facebook. Beberapa orang meninggalkan komentar dan foto mereka bersama Gori atau anjing-anjing lainnya di sana.

Namun Gori tidak selalu menemani saya di sepanjang perjalanan. Di beberapa titik pendakian, saya bertemu dan saling susul dengan kedua pendaki asal Solo tadi. Kami beristirahat bersama. Lalu pada akhirnya, Gori akan mengikuti siapa pun yang melanjutkan perjalanan lebih dahulu. Ini jadi salah satu hal yang paling berkesan selama berada di jalur pendakian.

anjing di gunung lawu jalur cetho.jpeg
Saya bersama Gori sebelum kami berpisah.

Secara keseluruhan, jalur pendakian Cetho memberi banyak kemudahan pendakian. Pertama, tanah yang padat memudahkan kaki untuk berpijak, meski jalur menanjak. Hal yang perlu diwaspadai dari tanah padat ini adalah cuaca saat dan setelah hujan. Saya yakin, jalur ini akan sangat licin.

Kemudahan kedua, pepohonan yang sangat rindang. Jalur pendakian hingga menjelang pos 5 adalah hutan yang rimbun. Ini membuat saya tidak langsung tersengat terik matahari. Suasana pendakian yang teduh ini juga membuat saya tidak cepat merasa haus atau dehidrasi.

sumber air gunung lawu via cetho.jpeg
Ketersediaan air di jalur pendakain membuat saya bisa mengurangi beban bawaan saat mendaki. Saya tidak perlu membawa terlalu banyak air.

Kemudahan ketiga yang saya temui di jalur Cetho adalah ketersediaan air. Ada sumber air di jalur pendakian menuju pos 3. Ini adalah air yang mengalir dari sebuah pipa. Ada pula sumber air lainnya, yakni genangan air yang bersifat musiman di Gupakan Menjangan. Sebaiknya, pastikan dulu ke petugas di pos pendaftaran mengenai ketersediaan air di Gupakan Menjangan.

Apakah jalur Cetho sesulit yang saya kira? Beruntung, saya memasang perkiraan yang terlalu tinggi sebelum berangkat. Kenyataannya, medan pendakian jalur Cetho tidak seterjal yang saya bayangkan. Pada beberapa bagian, jalan cukup menanjak. Namun, banyak juga jalur datar alias bonus, yang saya temui di sepanjang jalur pendakian.

Gunung Lawu via Cetho.jpeg
Semakin tinggi, tipe pepohonan dan pemandangan di jalur Cetho akan kian berbeda. Pepohonan mulai jarang, dan makin banyak jalur datar.

Pemandangan sejak awal pendakian hingga menjelang pos 5 sedikit menjenuhkan. Pepohonan rimbun menutup pandangan. Namun, selepas pos 4, pepohonan mulai jarang hingga akhirnya saya sampai di hamparan sabana.

Ini adalah sabana yang benar-benar cantik dan luas. Saya datang di sabana bersamaan dengan kabut tebal yang merayap dari arah timur. Pemandangan di sana sekejap berubah. Putih dipenuhi kabut.

Saya sempat hampir tersasar di sabana ini. Tebalnya kabut membuat jarak pandang sangat terbatas. Gori ternyata tidak sepenuhnya bisa diandalkan. Dia bukan petunjuk jalan, memang. Hanya ingin bermain.

Seharusnya, saya langsung melipir ke kanan atau selatan ketika berada di sabana pertama. Hal ini baru saya sadari setelah saya berputar-putar mencari jalan dan teringat untuk melihat peta pendakian. Sabana pertama ini jadi tempat saya berpisah dengan Gori. Di sini, Gori pulang bersama dua pendaki lain ke basecamp.

Baca juga: 9 Perlengkapan Solo Hiking Andalan Iyos Kusuma di sini.

Sebenarnya, saya agak menyayangkan berpisah dengan dua pendaki tadi (dan Gori tentunya) di sabana pertama. Tempat yang saya datangi selepas sabana pertama benar-benar mengagumkan! Anda bayangkan, saya berjalan di celah dua bukit yang ditumbuhi oleh pepohonan pinus. Bulak Peperangan namanya. Ah iya, seperti ini:

Dari Bulak Peperangan, saya terus melintasi sabana dan mendaki bukit-bukit kecil hingga akhirnya tiba di tempat saya mendirikan kemah, Gupakan Menjangan. Ini adalah area tanah datar dengan pepohonan pinus. Mungkin cukup menampung belasan tenda.

Gupakan Menjangan Gunung Lawu via Cetho.jpeg
Gupakan Menjangan, tempat saya bermalam di Gunung Lawu.

Saya bersyukur telah membuat keputusan tepat untuk memulai pendakian pukul tujuh pagi. Saya tiba di Gupakan Menjangan ketika matahari masih menggantung tinggi. Artinya, saya punya banyak waktu untuk menikmati suasana ini.

Dari sini, saya bisa melihat sabana lainnya. Saya sengaja mendirikan tenda di ujung area kemah supaya dapat pemandangan langsung ke sabana. Gila kerennya. Saya langsung memasukkan Lawu sebagai salah satu gunung yang akan saya datangi lebih dari sekali!

1410176-01-1213392180.jpeg
Sabana di depan Gupakan Menjangan. Keren, bukan? Saya meluapkan kegirangan dengan berlari-lari sendirian di sabana ini. Anda Gori ikut sampai sini.

Tidak mengejutkan, ternyata saya benar-benar melewati malam di Gupakan Menjangan sebatang kara. Suasana sepi yang menjadi kenikmatan tersendiri pada siang hari, berubah jadi paranoid ketika malam tiba. Ini dia rasa takut yang terus membayangi saya ketika masih ada di Jakarta: sendirian di Lawu.

Bukan, bukan takut kuntilanak atau kerabat-kerabatnya. Saya khawatir ada hewan buas dan serial killer yang datang untuk membunuh saya. Konyol, bukan? Membayangkan ada manusia yang bersembunyi mengintai saya sejak siang dan menunggu malam tiba untuk meempesembahkan jantung saya pada apa pun itu. Liar juga imajinasi malam itu.

Baca juga: Apa yang Saya Alami ketika Mendaki Sendirian? di sini.

Pada akhirnya, saya sama sekali tidak berangkat ke puncak keesokan paginya. Saya sudah bangun sebelum alarm bunyi, sebenarnya. Namun, apa yang saya hadapi pagi itu benar-benar menahan saya untuk beranjak. Pagi yang dingin, sabana yang disiram sinar jingga matahari, belum lagi cuitan burung-burung dari atas pohon.

Apa lantas saya menyesal tidak sampai ke puncak? Tidak, jelas. Tujuan pendakian buat saya tidak harus berupa suatu titik tertinggi atau titik lainnya. Tujuan saya sudah sangat terpenuhi saat itu: mencari kesenangan dengan menikmati udara segar dan suasana yang syahdu romantis.

Ah, Lawu. Saya benar-benar akan kembali nanti.

51 thoughts on “‘Solo Hiking’ Gunung Lawu Jalur Cetho”

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.