Hampir di setiap tempat yang saya singgahi, saya berpapasan dengan orang-orang berpakaian militer. Dari halte bus, hingga rumah makan. Mereka mengenakan pakaian hijau polos, tanpa corak berloreng.
Beberapa di antaranya membawa senjata. Senjata laras panjang yang yang mereka sandang di bahu tak membuat wajah mereka garang. Jauh dari kesan dingin dan keji.
“Mereka itu wajib militer. Baru lulus sekolah”, Uri Zirinski menjawab kebingungan saya. Pantas saja. Wajah mereka masih nampak terlalu innocent untuk mengenal perang.

Uri Zirinski adalah salah satu diplomat muda Israel. Ialah yang mendampingi saya selama beberapa hari di Yerusalem dan Tel Aviv.
Di Israel, pengabdian kepada militer adalah mandat. Istilah lainnya, wajib militer. Semua warga Israel harus mengikuti pendidikan militer setelah lulus Sekolah Menengah Atas. Wajib.
Maka tak heran, laki-laki dan perempuan berwajah belia dan berseragam hijau kerap saya temui di penjuru kota-kota di Israel.
“Apa yang kami lakukan sekarang tak bisa dilepaskan dari apa yang kami alami pada masa lalu. Kami tidak ingin kelompok kami menderita lagi”, Uri menjelaskan sambil berlalu menuju pintu masuk Yad Vashem. Museum Holocaust. Sebuah tempat yang menyimpan cerita kelam bangsa Yahudi.
Dari dalam museum, seorang perempuan keluar menghampiri kami. Uri menyapanya dengan Bahasa Ibrani. Dari perbincangan mereka, cuma dua kata yang saya pahami: shalom dan Aindonezi.
“Halo, selamat datang di Yerusalem. Ini kunjungan pertama kamu di Israel?”, tanyanya sambil menjabat tangan saya.
Inilah Yerusalem, jantung Israel, tempat kantor-kantor pemerintahan Israel bercokol. Kota yang juga diinginkan oleh Palestina sebagai ibukota negara, meski Perserikatan Bangsa Bangsa menegaskan status Yerusalem sebagai wilayah internasional.
Saya tersenyum, “toda raba. Ini kunjungan pertama saya ke Yerusalem, ” jawab saya.
Ialah Eva Lutkiewicz, wanita keturunan Polandia yang menetap di Israel dan yang memperkenalkan saya pada Yad Vashem. Eva adalah seorang staf departemen hubungan masyarakat di Yad Vashem.
Saya membuntutinya melewati beberapa polisi menuju bangunan museum. Bangunan abu-abu yang berkesan futuristik. Terkesan futuristik, namun di dalamnya tersimpan cerita klasik bangsa Yahudi. Cerita kelam yang terjadi sekitar 70 tahun silam.
Dari dalam museum, saya baru bisa melihat ukuran museum yang ternyata jauh lebih luas dari yang saya sangka.

Bangunan berbentuk trapesium pipih yang menjulang tinggi. Hampir berupa segitiga sama kaki. Bagian atasnya terbuka. Membuat cahaya matahari terjun bebas ke seluruh lorong museum.
Tidak terlalu banyak pengunjung museum siang itu. Sebagian besar adalah para tentara wajib militer. Mereka berbondong-bondong mengitari setiap ruang di Museum Yad Vashem, seperti saya.
Saya penasaran, apa doktrin yang para tentara wajib militer ini terima ketika menjelajahi museum pembantaian kaum mereka di masa lampau. Saya tiba-tiba teringat hal yang pernah disampaikan seorang dosen di bangku kuliah beberapa tahun lalu. “Salah satu cara untuk memperkuat solidaritas bangsa ialah dengan ‘menciptakan’ musuh eksternal bersama”, paparnya.
Satu-persatu, ruangan-ruangan di dalam museum Yad Vashem saya sambangi. Ruangan-ruangan ini berada di kiri dan kanan lorong museum. Zig-zag.
“Pembantaian massal yang dilakukan oleh tentara Nazi Jerman berawal dari ideologi mereka. Ideologi bahwa mereka adalah ras terbaik,” Eva menjelaskan, “saya yakin, ini bukan masalah perebutan wilayah atau kekuasaan,” lanjutnya.
Eva menunjukkan saya catatan dan foto standar fisik manusia yang dianggap sempurna. Tinggi badan, warna mata, hingga bentuk tengkorak kepala. Mereka yang tidak memenuhi standar yang sudah dibakukan, dianggap bukan bagian dari ras unggul.

“Mereka tidak ingin ada anggota kaum mereka yang menikah dan menghasilkan keturunan dari orang yang tidak memiliki ras unggul. Itu merusak darah keturunan mereka. It was unbelievable. Bahkan, mereka yang memiliki cacat tubuh dan mental juga ikut dilenyapkan agar tidak menikah dengan bangsa mereka,” sambungnya.
Saya coba membandingkan standarisasi fisik ini dengan rupa Adolf Hitler. “Eva, bukankah Adolf Hitler…,” tanya saja sambil menunjuk catatan standari fisik. Eva memotong, “Ya, pendek, rambut hitam. I don’t even understand,” ujarnya seraya mengangkat alis dan bahu.

Pada ruang lain di museum, diperlihatkan foto-foto berisi rupa-rupa keturunan Yahudi di Eropa. Visual ini lah yang disebut Eva ditunjukkan Jerman kepada bangsa Arya, ras mereka.
“Mereka memperlihatkan foto kaum kami yang hampir mati kelaparan, kotor, kurus dan mereka bertanya ‘apakah kamu mau menghasilkan keturunan bersama orang-orang ini. Saya rasa tidak‘ kepada siapa saja yang mereka temui di jalanan”, papar Eva.

Bangsa Yahudi mengklaim sekitar 6 juta kaum mereka dibunuh pada akhir periode Perang Dunia II. Jumlah ini adalah dua pertiga dari jumlah seluruh penganut Yahudi di seluruh wilayah Eropa. Selama sekitar tiga tahun, mereka dibunuh secara massal atas mandat pemimpin Nazi, Adolf Hitler.
Dibiarkan kelaparan, kerja paksa hingga meninggal dunia, dan ditembus peluru adalah cara yang mereka lakukan. Hingga akhirnya, tentara Nazi Jerman menemukan cara termurah dan tercepat: menggunakan gas beracun. Racun tikus yang biasa dipakai di kapal-kapal.
“Kaum kami yang berada di daerah-daerah yang diduduki Jerman ditawarkan hidup yang lebih baik. Mereka dijanjikan untuk bertemu dengan sanak saudara mereka dengan menggunakan kereta. Tapi kamu tahu? Di sana mereka dikumpulkan di satu ruangan, disuruh menanggalkan pakaian untuk mandi. Ternyata, mereka tidak diantar ke ruang untuk mandi, melainkan ke sebuah ruangan tertutup dan dibekap gas beracun”, tutur Eva.
Di ujung museum, kami memasuki sebuah ruangan dengan cerobong vertikal. Pada sisi dalam cerobong, terpasang foto-foto kaum Yahudi yang menjadi korban genosida. Foto anak-anak, orang dewasa, dipajang di sana.
“Sebagian besar korban pembantaian adalah penduduk Polandia. Lebih dari tiga juta, atau separuh korban, adalah penduduk Polandia”, kata Eva.
“Bukankah kamu adalah keturunan Polandia, Eva?”, tanya saya. “Ya, keluarga saya adalah korban dari pembantaian Holocaust”, jawabnya singkat. “I shouldn’t have asked you that question. I’m really sorry,” tanggap saya. Eva tersenyum,” tidak. Tidak apa-apa”, jawabnya.
Kami berjalan keluar bangunan utama museum.
“Eva. Kamu masih merasa ada amarah ketika melihat bangsa Jerman?”, tanya saya. Eva menjawab, “Saya tidak mungkin melupakannya. Tapi sudah lah, bukan generasi mereka yang melakukan itu kepada leluhur saya. Mereka tidak tahu apa-apa. Saya mau kedamaian”.
“Bicara soal kedamaian, don’t get me wrong, bagaimana pandangan kamu soal konflik Israel dengan negara lain di Timur Tengah. Palestina misalnya?”, lanjut saya.
Eva menghentikan langkahnya dan menatap saya. “Saya ingin perdamaian. Itu saja. Mengapa orang begitu serakah berebut kekuasaan? Butuh berapa korban jiwa lagi agar mereka menghentikan peperangan? But what can I do?“, ujarnya.
“Eva, setidaknya kamu melakukan sesuatu di sini. Sesuatu yang bisa mengingatkan manusia untuk tidak mengulangi salah satu tragedi kemanusiaan terpahit di dunia”, jawab saya sambil memberi isyarat untuk kembali berjalan meninggalkan museum,” Ah, ayo kita berfoto bersama di sana, Eva!”, tutup saya.
Ya ampun. Baru baca ini di tahun 2018 hahahahaha. Keren mas inspiratif banget 😊
LikeLiked by 1 person
Wah, makasih, Mba 😃
LikeLike