Tips dan Inspirasi, Ulasan

Matras Karet, Aluminium, dan Angin. Mana yang Lebih Baik?

Sebagian orang bertekun pada anggapan bahwa berada di atas gunung memberi ketenangan untuk berpikir dan mengambil keputusan. Beruntung, saya tidak sependapat.

Anda tahu, saya benar-benar meninggalkan semua permasalahan di Jakarta ketika saya mendaki gunung. Sebagai informasi tambahan, ransel saya sudah cukup berat untuk membawa masalah.

Selama pendakian, hal-hal yang banyak saya pikirkan tidak jauh dari kebutuhan dasar saya sebagai manusia. Sederhana saja: menyantap makan, mengatur sisa persediaan air, dan istirahat yang berkualitas baik.

Saya sudah pernah membahas ide makanan selama pendakian di sini. Kali ini, saya mau membahas hal yang berhubungan dengan kebutuhan lain saya sebagai pendaki: istirahat dan kaitannya dengan alas tidur.

Matras Karet

Sebagai orang yang gemar mendaki (walau tidak sering-sering amat), saya akrab dengan alas tidur berupa matras berbahan karet. Matras ini adalah alas tidur pertama yang saya kenal dan gunakan ketika saya menekuni dunia “perkempingan”.

Dibandingkan dengan dua alas tidur lainnya—nanti akan saya bahas—harga matras karet cenderung lebih murah. Di toko-toko online, segulung matras busa bisa dibeli dengan harga sekitar Rp50.000,00. Tak heran, alas tidur tipe ini sangat populer di kalangan pendaki.

P1380806-01.jpeg
Matras karet, matras yang paling banyak ditemu di jalur pendakian. Harga yang relatif murah dan bahan yang awet membuat matras ini disukai pendaki.

Berdasarkan pengalaman saya, matras karet cukup nyaman digunakan di dalam tenda. Ketebalan matras karet cukup baik untuk mengatasi tanah perkemahan yang tidak rata. Bahan yang kesat (tidak licin) pun cocok digunakan untuk medan yang tidak terlalu datar.

Namun sayang, bagi saya matras busa terlalu keras. Tidak hanya untuk ditiduri, namun juga untuk dikemas.

Mau tidak mau, matras ini harus digulung, baik itu digulung di dalam ransel sebagai pelapis isi tas, atau digulung dan diselipkan di bagian luar ransel.

Matras Aluminium

Matras barbahan aluminium menawarkan fitur yang tidak dimiliki matras berbahan karet. Salah satu kelebihan yang menonjol adalah sifat meterialnya yang menjaga kehangatan tubuh.

Betul, sifat aluminium adalah memiliki daya insulasi, atau mencegah panas tubuh merambat ke tanah (sehingga tubuh saya merasakan dinginnya tanah).

Matras aluminium juga cenderung lebih lunak, jika dibandingkan dengan matras karet. Hal ini membuat saya leluasa untuk mengemas matras dengan melipatnya dan menyimpannya di dalam ransel.

Atau, saya biasanya ikut menggulung matras aluminium di dalam gulungan tenda ketika berkemas.

Matras berbahan aluminium cenderung lebih ringan dibandingkan dengan matras karet.

Bobot matras aluminium yang biasanya saya bawa hanyalah 173 gram, atau hampir setara dengan bobot dua bungkus mi instan.

P1380606-01.jpeg
Matras aluminium berdimensi lebih tipis dibandingkan matras karet. Tidak terlalu efektif memberi rasa empuk, namun cukup efektif memberi rasa hangat pada tubuh.

Namun kekurangannya, saya rasa material yang tipis membuat daya tahan matras aluminium tidak sebaik matras busa—walaupun matras aluminium milik saya masih baik-baik saja.

Selain itu, kerikil atau ranting di bawah tenda juga masih terasa mengganjal ketika saya berbaring.

Kekuarangan lainnya, sifat aluminium yang licin adalah hal yang buruk ketika saya tidur di tanah yang tidak datar.

Miring sedikit saja, saya mudah tergelincir saat tidur menggunakan sleeping bag yang juga bersifat licin. Kekurangan ini yang sebenarnya sangat mengganggu.

Matras Angin

Alas tidur berupa matras angin memang tidak terlalu populer di kalangan pendaki kita, jika dibandingkan dengan matras karet dan aluminum.

Masuk akal, karena harganya yang bisa mencapai puluhan kali lebih mahal dibandingkan kedua matras tadi.

Saya akan mengulas matras angin dengan kualitas dan harga di antara kelas proletar dan borjuis: Naturehike tipe NH17T024-T.

1000425-01.jpeg

1000420-01.jpeg

Saya menguji kualitas matras ini di Gupakan Menjangan, Gunung Lawu pada Juni lalu.

Dimensi matras angin Naturehike lebih kecil, jika dibandingkan dengan kedua jenis matras yang saya bahas pada awal guratan ini.

Ketika tidak sedang digunakan, matras angin bisa dilipat dan digulung hingga hanya sebesar botol air mineral bervolume 600 ml. Bobotnya pun tak besar, kurang dari 500 gram. Jelas ini jadi salah satu kelebihan matras angin.

P1410164-01.jpeg
Matras angin Naturehike saya gunakan saat saya bermalam di Gupakan menjangan, Gunung Lawu.

Untuk menyiapkan matras, saya tidak memerlukan pompa angin. Di luar dugaan, matras angin ini dapat mengembang sempurna dengan tak lebih dari 10 kali tiupan panjang.

Mudah pula untuk mengempiskan matras, saya cukup membuka lubang dan menekan katup yang menutup lubang.

1000416-01-01.jpeg
Diameter lubang udara yang besar mempermudah saya meniup dan mengempiskan matras. Ada katup hitam yang menahan agar udara tidak keluar saat jeda peniupan.

Bagaimana dengan kualitas matras angin sebagai alas tidur? Tentu saja, keunggulan paling menonjol dari matras angin adalah sifatnya yang empuk saat digunakan.

Ketika saya tidur telentang, badan saya benar-benar seperti mengambang di atas udara. Namun ketika saya duduk, tekanan tubuh saya menjadi lebih besar sehingga bokong akan tetap bersinggungan dengan tanah juga.

Selain empuk, berbaring di atas matras angin juga membuat tubuh saya tidak bersentuhan langsung dengan tanah, sehingga di atas tanah yang tidak rata dan berkerikil pun, saya bisa tidur dengan tetap nyaman.

1000418-01.jpeg
Ketebalan matras angin Naturehike cukup untuk menjaga jarak tubuh saya dengan tanah.

Serupa dengan matras aluminium, matras angin juga menjanjikan fungsi insulasi. Untuk meningkatkan kualitas insulasi, saya menggelar matras angin ini di atas matras aluminium.

Lalu apa kekurangan matras angin dibandingkan dengan matras karet dan matras aluminium? Jelas, harganya lebih mahal.

Namun, rentang harganya lebar sekali. Matras angin berkualitas (yang nampaknya sangat) rendah bisa dibeli dengan harga sedikit di atas Rp100.000,00, sementara matras angin berkualitas (yang katanya) mumpuni saya temui berharga di atas Rp1.000.000,00.

Matras angin juga memiliki resiko rusak yang lebih besar. Saya pikir, malam saya akan menjadi malam yang sangat buruk dan panjang, jika matras angin yang saya bawa sobek di pendakian.

Untuk alasan itu mungkin, Naturehike menyediakan selembar kecil material penambal beserta lem di dalam kantung matras.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, saya beranggapan bahwa matras angin paling unggul dalam menjanjikan kenyamanan. Tentu saja karena empuk. Saya rela membayar lebih mahal untuk kualitas istirahat yang lebih baik, kali ini.

Namun, saya lebih suka mengombinasikan matras aluminium dengan matras angin. Alasannya, matras angin terlalu tipis untuk diduduki di dalam tenda, namun bisa diatasi dengan melapisinya dengan matras aluminium, sehingga bokong tidak akan merasa dingin.

Apa kabar matras karet? Masing-masing matras memiliki kegunaan tempat dan waktu, saya yakin.

Jika saya akan berkemah di lahan berbatu atau berkerikil (misalnya di Pasar Bubrah, Gunung Merapi), mungkin saya akan memilih membawa matras karet sebagai alas matras angin, agar tubuh saya tidak merasakan tajamnya kerikil di bawah tenda.

Itu pilihan saya. Bagaimana dengan pilihan Anda?

 

17 thoughts on “Matras Karet, Aluminium, dan Angin. Mana yang Lebih Baik?”

  1. Bagaimana dg self inflating-nya NH? Ada busa di dalamnya.
    Mungkin ini solusi buat si bokong tipis… eh bokong besar kasur tipis maksudnya.

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.