Wawancara

Zero Waste Adventure: Mendobrak Budaya Pendakian dengan Buku

Semakin tinggi Anda berpijak, maka semakin luas pula jangkauan pandangan Anda. Sudah pernah dengar pepatah lama ini?

Siska Nirmala sudah mengalaminya. Dari pucuk-pucuk gunung di Indonesia, ia bisa memandang luas bentang alam yang ada di bawahnya.

Namun alam tidak membawanya berhenti di sana. Sudut pandangnya terhadap permasalahan lingkungan menjadi semakin luas. Kebijaksanaan tidak seperti gelar kebangsawanan memang, ia membutuhkan proses untuk diraih. Ada kegelisahan yang ia rasakan di tengah pendakian. Siska galau karena (pernah) menjadi bagian dari masalah lingkungan.

Siska Nirmala adalah seorang jurnalis di salah satu media massa terbesar di Jawa Barat. Pada Mei 2017, ia menerbitkan buku pertamanya yang berjudul Zero Waste Adventure. Ketika kami berjumpa, kami banyak bertukar cerita. Tentang pendakian, gaya hidup nol sampah, hingga cerita-cerita konyol tentang pengalaman liputan.

Saya kagum dengan ide yang ia guratkan di setiap lembar buku. Mulai dari pendakian massal 17 Agustus di Papandayan, perhelatan berskala internasional di Tambora, hingga membawa turun sampah yang ternyata tidak menyelesaikan masalah lingkungan!

Semua hal yang ia alami dipandang dari sudut pandang yang berbeda, berusaha keluar dari budaya naik gunung yang terlanjur mendarah daging di masayarakat Indonesia. Ide dan pemikiran jurnalis ini begitu liar, tidak mau dibelit dan dituntun oleh pola pikir yang selama ini dianggap sebagai hal yang lumrah.

Namun, hey…..

Processed with VSCO with se3 preset
Siska Nirmala, penulis Zero Waste Adventure.

 …mengapa buku yang saya pesan via paket datang tanpa bungkus plastik? Pengiritan atau…?

He he, iya buku Zero Waste Adventure memang dijual buligir (telanjang, Bahasa Sunda), alias tanpa kemasan plastik. Dengan atau tanpa plastik, sebenernya gak ngaruh dengan pengiritan biaya cetak buku, karena biasanya plastic wrap untuk buku udah jadi satu paket service percetakan.

Justru, saya memang sengaja meminta percetakan gak membungkus bukunya dengan plastik. Sederhana, karena orang butuh bukunya, bukan plastiknya. Selain itu juga krarenavbuku ini membahas tentang life experiences saya dalam mengurangi sampah. Masa isunya soal mengurangi sampah, tapi bukunya ikut berkontribusi menghasilkan sampah?

Ini juga salah satu alasan saya untuk nerbitin buku secara indie, supaya buku ini bisa lahir tanpa kemasan plastik.

Tapi memang kelemahannya adalah saat buku dikirim untuk pembeli yang ada di luar Bandung. Meskipun sudah diminimalisasi dengan hanya pakai bungkus kertas untuk dipaketkan, pihak jasa pengiriman memberlakukan pemakaian plastik dalam prosedurnya. Ini sih yang gak bisa saya hindari, tapi setidaknya pembaca gak menghasilkan lebih banyak sampah karena gak ada plastic wrap di buku.

Cara lainnya untuk minimalisir plastik, khusus untuk pembelian di wilayah Bandung saya selalu menawarkan untuk COD atau mengambil langsung buku tanpa dikirim. Kalaupun dikirim juga, ditawarkan untuk pakai jasa Gojek supaya gak perlu lewat jasa pengiriman yang memberlakukan plastik.

Jadi, ide apa yang ingin disampaikan lewat buku ini?

Idenya adalah memperkenalkan gaya hidup zero waste lewat cara yang menyenangkan, yaitu kegiatan berpetualang. Saya melihat gaya hidup zero waste selama ini hanya dikenal oleh orang-orang yg segmented, dan mayoritas adalah kalangan ibu rumah tangga yang memang sehari-harinya terbiasa berhadapan dengan masalah sampah di rumah.

Generasi muda yang justru penting untuk mengenal gaya hidup zero waste ini justru kurang tersentuh, karena mereka membutuhkan pendekatan yang berbeda. Zero Waste Adventure menawarkan sudut pandang kegiatan berpetualang yang gak biasa, melawan budaya-bidaya kegiatan berpetualang di Indonesia yang selama ini mayoritas ikut berkontribusi sama masalah sampah di alam.

Dengan memperkenalkan zero waste lewat kegiatan berpetualang, harapannya sih mereka yang baca bisa tergerak dan merubah mindset-nya untuk mulai mengurangi produksi sampah.

Dari mana inspirasi mendaki tanpa sampah datang? Apa pemicunya?

Awalnya waktu ngedaki Rinjani (2011) sama Semeru (2012). Sedih gitu ngeliat di sana sampahnya banyak banget. Terus mikir, ada gak ya cara supaya gak menghasilkan sampah waktu mendaki.

Lalu inget dulu pernah ikut pelatihan zero waste tahun 2010. Aha moment-nya, “kenapa gak cobain zero waste aja pas mendaki ya”. Dari situ diniatin ekspedisi tanpa menghasilkan sampah (ekspedisi nol sampah). Tapi sebelum ekspedisi, lebih dulu mulai belajar mengurangi sampah di keseharian.

Awalnya dari ngurangin botol minuman mineral, kantong plastik, sama mengompos. Selanjutnya bertahap ke ngurangin makanan kemasan dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

Bagaimana pendakian ini dilakukan? Untuk mengemas makanan dan minuman? Bukannya itu merepotkan?

Sebenernya simple. Karena pas mendaki itu sumber sampah yang paling banyak adalah dari perbekalan (makanan dan bahan bakar). Kalau terasa merepotkan, itu artinya mindset-nya masih tergantung sama segala sesuatu yang serba instan.

Paham manajemen pendakian juga penting banget untuk bisa menerapkan konsep zero waste dalam mendaki. Karena bawa perbekalan itu sebenernya gak cuma asal, tapi harus dihitung: berapa lama waktu pendakian? Berapa banyak makanan yang dibutuhkan selama itu? Berapa kali makan besar? Berapa kali makan snack?

Kalau sudah dihitung kebutuhan perbekalannya, tinggal ditentuin perbekalannya yang berjenis tanpa kemasan, atau natural. Juga sesuaikan sama selera.

Kalauvpun harus beli perbekalan yang tidak mungkin didapatkan tanpa kemasan, pilih yang paling minim menghasilkan sampah. Misalnya kopi, beli kopi hitam yang ukuran 1 kg, lalu di-packing dalam wadah sesuai kebutuhan. Jangan beli kopi sachet.

Atau kalau teh, pilih teh bubuk yang dijual dalam kemasan kertas. Jangan teh celup yang menghasilkan banyak sampah.

Mengemas perbekalan mendaki gak selalu semuanya harus dalam wadah kotak makanan. Misalnya sayur-sayuran dan buah-buahan bisa dibungkus kantong kain atau kantong jaring. Bumbu masak kaya bawang-bawangan, cabai, dan lain-lain juga bisa pake kantong jaring. Beras bisa di-packing di misting atau kantong kain.

Yang harus pakai wadah-wadahan paling hanya sejenis bumbu masak yang bubuk seperti garam, gula, dan merica.

Intinya sih, cari alternatif perbekalan yang paling minim menghasilkan sampah.

Lalu untuk tissue buang air?

Pakai sapu tangan. Bawa beberapa sapu tangan untuk kebutuhan sanitary.

Masalah tissue untuk buang air ini memang budaya moderen. Jaman dulu ga ada yang buang air pake tissue. Jadi untuk mengatasi masalah ini, kembali ke budaya lama yaitu pake kain.

Adab buang air kecil ataupun besar di gunung emang harus diperhatiin banget. Pendaki kadang bisa sangat menjadi jorok karena malas bersih-bersih buang air dengan menggunakan air, dan berpikir instan dengan tissue basah.

Padahal ya buang air mah bersih-bersihnya bisa tetep pake air, baru dikeringkan dengan sapu tangan.

Tunggu, bukannya kalau pendaki bawa turun sampahnya, masalah selesai? Gunung tetap bersih dari sampah, bukan?

Bukan selesai. Tapi memindahkan masalah ke tempat lain, yaitu ke kaki gunung. Gunungnya jadi bersih setelah sampah dibawa turun, tapi di kaki gunung sampah tetap jadi masalah untuk warga setempat. Kalaupun sampahnya akhirnya dibawa ke TPA, sampah tetap ada dan jadi masalah buat lingkungan sekitarnya.

Ini sama seperti meskipun kita buang sampah pada tempatnya, tapi sampah yang kita buang hanya akan berpindah ke tempat lain. Memindahkan masalah.

Sampai kapan pun, yang namanya membersihkan sampah hanya memindahkan masalah, karena sampah tidak hilang.

Karena itu, menerapkan gaya hidup zero waste atau meminimalisasi produksi sampah sejak awal adalah cara paling bijak mengatasi masalah sampah. Kalau gak suka dengan sampah, ya jangan produksi sampah. Atasi masalah dari hulunya, bukan fokus di hilir saja.

Apa tantangan dari pendakian tanpa sampah pada pendakian pertama? Sampah apa yg paling menantang utk dikurangi? Mengapa?

Tantangannya sebenernya justru datang dari orang lain. Pada pendakian zero waste pertama, saya bawa tiga teman lainnya yg benar-benar saya wanti-wanti untuk ikutin cara pendakian yang saya mau. Alhamdulillah sih lancar, karena kita koordinasi soal makanan apa aja yang dibawa masing-masing untuk dua hari pendakian di Gunung Gede.

Mungkin di awal ini yang paling menantang adalah pertama kalinya mendaki gak bawa botol air mineral. Deg-degan aja apa iya cukup dengan masing-masing bawa dua botol minum ukuran satu liter (di Gunung Gede). Tapi ternyata memang bisa, karena di beberapa pos bisa refill dari mata air. Itu menambah percaya diri untuk pendakian-pendakian selanjutnya.

Apa sudah ada pembaca atau orang lain yang ‘tertular’ gaya hidup seperti ini? Dari mana mereka disarankan untuk memulai?

Banyak banget yang kontak untuk konsultasi soal cara awal mengurangi sampah. Alhamdulillah sih sejauh ini semua yang ngontak itu ngasih respon yang positif.

Beberapa ngasih tau kalau mereka mulai bikin komposter di rumah. Lengkap dengan foto komposter yg mereka buat, kadang ada yang ngeinfoin progres komposternya. Kadang curhat kalo orang rumahnya susah diajak kerjasama, ada yang curhat komposternya butuh banyak, ada yang pengen beli aja komposternya di aku padahal aku gak jualan haha.

Ada beberapa yang nerapin zero waste saat mendaki. Temen-teman PALAWA UNPAD misalnya, setelah diskusi dengan aku, mereka melakukan zero waste mountaineering ke Gunung Cartenz. Terus ada satu pendaki yang lagi coba maraton pendakian 20 gunung dengan metode zero waste.

Banyak komunitas juga yang ngajak ngobrol karena tertarik untuk bisa menerapkan zero waste event. Semuanya selalu saya sarankan hal yang sama, yaitu mengurangi sampah dari hal-hal sederhana, seperti botol air mineral, kantong plastik, makanan berkemasan, dan mulai mengompos sendiri. Perihal yang mana yang akan mereka coba pertama, itu jadi pilihan mereka, dan biarkan mereka melakukan petualangannya sendiri.

Baca juga wawancara dengan Annisa Malati yang Dibayar untuk Jalan-jalan dan Masuk TV.

Semua itu jadi feedback positif yang mahal harganya buat saya pribadi, karena mereka tergerak untuk bisa melakukan perubahan yang sama soal mengatasi masalah sampah. Mungkin saat ini mereka baru terpicu, dan baru akan belajar menjalani proses untuk mengurangi sampah.

Baca juga wawancara dengan 4 perempuan hebat lainnya dalam “Kami Perempuan dan Tidak Takut Pergi Sendirian“.

Tapi itu adalah modal yang besar, karena ketika mereka sudah mendengar istilah zero waste, tertarik untuk menerapkan, lama-lama menjadi kebiasaan, dan kebiasaan yang dilakukan konsisten akan menjadi kebudayaan.

1340047
I will always try to be one! Thank you, Teh Siska!

35 thoughts on “Zero Waste Adventure: Mendobrak Budaya Pendakian dengan Buku”

  1. 1st time coming here
    jadi inget reportase kompas minggu ini tentang plastik
    banyak sampah plastik sekarang ini muncul dari bubble wrap dll karena meningkatnya pengiriman barang

    Like

    1. Yap. Saya juga baca agenda setting Kompas soal sampah plastik ini. Sedikit tersindir karena saya juga masih jadi bagian dari masalah, walau udah coba kurangin penggunaan plastik sekali pakai.

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.