Cerita Perjalanan

Yerusalem, Kota Damai

Matahari lantang menyala siang itu, membuat kubah mesjid di hadapan saya berkemilau. Adzan Zuhur baru saja berkumandang beberapa menit lalu, memanggil umat Muslim di Yerusalem bersujud menyembah Sang Pencipta.

Saya merebahkan diri di pelataran Kubah Shakhrah, atau Dome of The Rock, menunggu beberapa teman yang sedang sembayang di dalam. Sejenak, kubidik kubah keemasan di depan saya dengan kamera.

1270378-01
Dome of The Rock

Hey, hey!“, seseorang berteriak.

Saya mencari sumber suara. Tak jauh dari tempat saya merebahkan diri, dua orang anak laki-laki melambaikan tangannya.

Ketika mata saya menangkap mereka, keduanya langsung memasang pose. Bergaya di depan masjid. Saya tersenyum sambil mengarahkan fokus pada kedua anak itu.

“Oke, hitungan ketiga, kalian melompat ya. Lompat yang tinggi!”, saya memberi aba-aba, “one, two, three!“.

Habib dan Muhammad namanya. Umurnya masing-masing 12 dan 13 tahun. Keduanya tinggal di Kota Lama Yerusalem, di wilayah permukiman Muslim.

I wanna try your camera“, Habib menunjuk kamera yang saya kalungkan. “Sure, take this“, saya kalungkan tali kamera ke lehernya.

You can use this ring to set the focus of the…“, saya mencoba menjelaskan. “I know, I know, I have this camera also“, Habib memotong kalimat saya. Kids…

Suasana di pelataran Kubah Shakhrah begitu tenang siang itu. Anak-anak bermain sepak bola, ada seorang ibu yang membawa kedua anaknya bermain, ada pula seorang kakek yang duduk sendirian di bawah teduh pohon. Damai. Tenteram.

Bangunan inilah yang menjadi salah satu ikon Kota Lama Yerusalem, setidaknya karena paling jelas terpandang dari kejauhan. Warna kubahnya yang cemerlang, selain karena ukurannya yang besar, sangat mencuri perhatian ketika saya memandangi lanskap Kota Lama Yerusalem.

Bangunan ini, Dome of The Rock, menjadi salah satu tempat yang dianggap suci oleh umat Muslim. Di dalam kubah ini, terdapat sebuah batu yang diyakini umat Muslim menjadi batu pijakan Nabi Muhammad pada peristiwa Isra Miraj.

Tak jauh dari Kubah Shakhrah, dengan sedikit berjalan menuruni anak tangga, berdiri bangunan lain yang juga disucikan oleh umat Muslim. Masjid Al-Aqsa. Suasana di pelataran Masjid Al-Aqsa lebih teduh, lebih banyak pepohonan yang ditanam di sini. Beberapa anak laki-laki saya lihat sedang berwudhu di sumber air yang ada di depan masjid.

“Lengkap sudah aku datang ke tiga tempat yang disucikan di agama Islam,” kata seorang teman perjalanan saya ketika kami tiba di pelataran Masjid Al-Aqsa. “Dulu, masjid ini pernah menjadi kiblat sembayang umat Islam, sebelum kiblat ditujukan ke Ka’bah di dalam Masjid’il Haram”, lanjutnya. Saya hanya mengangguk.

1270472-01

Kedua bangunan ini, Kubah Shakhrah dan Masjid Al-Aqsa, berada di wilayah Al-Haram asy-Syarif, di wilayah Muslim, di Kota Lama Yerusalem. Meski secara keseluruhan, Yerusalem berada di bawah kekuasaan Israel, kawasan Muslim di Kota Lama Yerusalem ada di bawah kontrol pemerintah Yordania.

Untuk masuk ke kompleks ini tidak mudah. Setelah sedikit berunding dengan polisi Yordania yang menjaga kompleks Al-Haram asy-Syarif, saya baru mendapat izin melenggang masuk. Beberapa teman saya yang beragama Yahudi, menunggu di luar, karena mereka tidak diperkenankan masuk. Sama sekali.

Larangan ini cuma berlaku di kompleks suci Al-Haram asy-Syarif. Di luar kompleks, seluruh wilayah Muslim dan tiga wilayah lainnya adalah area bebas.

Ya, ada empat wilayah di Kota Lama Yerusalem. Selain wilayah Islam, ada pula wilayah Yahudi, wilayah Kristen, dan wilayah Armenia. Tidak ada tembok atau pagar yang menyekat keempat wilayah.

1270292-01
Hampir di seluruh jalanan di Kota Lama Yerusalem ditempati pedagang. Ada juga beberapa tempat makan atau kedai kopi, tentunya juga bernuansa klasik.

Masing-masing kawasan hanya ditandai dengan tulisan kecil yang tertera di dinding titik perbatasan. Jika mata tak jeli, mungkin saya tidak menyadari telah melintasi batas keempat wilayah di Yerusalem.

Arsitektur dan tata kota di keempat wilayah cenderung tak berbeda. Bangunan, jalanan, dan dinding-dinding dibuat dari bahan bebatuan serupa dengan warna senada: cokelat pucat. Mereka menyebutnya Jerusalem stone. Saya bisa meresapi status kota ini sebagai salah satu kota tertua di dunia, ketika saya menapaki seluk beluk Kota Lama Yerusalem.

Melihat tembok-tembok di Kota Lama Yerusalem, saya membayangkan, berapa kali darah terciprat di sana dan dibersihkan kembali. Kota Lama Yerusalem seperti piala bergilir, dioper dari satu penguasa ke penguasa lain. Pergiliran penguasaan kota ini tidak dilakukan dengan mulus, tetapi dengan pertumpahan darah. Peperangan.

Sudah puluhan kali Kota Lama Yerusalem diperebutkan, dikepung, diserang, dihancurkan , lalu dibangun kembali. Sebut saja Raja Daud yang merebut kota ini pada abad ke-11 SM, lalu Umar bin Khattab pada abad ke-7, lalu Perang Salib Pertama, dan seterusnya. Bahkan hingga kini, Yerusalem masih jadi salah satu sumber cekcok antara Israel dan Palestina.

Dalam urusan perebutan Yerusalem, pemerintah Israel dan pemerintah Palestina seperti dua gadis yang memperebutkan seorang pria yang tidak mau berkomitmen. Halu.

Keduanya sama-sama menginginkan penguasaan Yerusalem. Palestina menuntut Yerusalem Timur sebagai ibu kota pemerintahan, sementara seluruh wilayah Yerusalem kini berada dalam penguasaan Israel.

Israel dan Palestina sama-sama tidak mengindahkan pengakuan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menjadikan Yerusalem sebagai wilayah internasional, di bawah pengawasan PBB.

Mengapa Yerusalem Diperebutkan?

Kota Lama Yerusalem adalah kota yang istimewa. Luasnya tidak lebih dari satu kilometer persegi. Penduduknya juga kurang dari satu juta orang. Namun di kota kecil inilah, tempat-tempat suci bagi umat tiga agama Abrahamik berdiri: Yahudi, Islam, dan Kristen.

Bagi umat Kristiani, Kota Lama Yerusalem adalah salah satu tempat ziarah terpenting. Di sanalah terdapat Gereja Makam Kudus, atau Church of The Holy Sepulchre.

1270304
Pada wisatawan dan peziarah terlihat sedang berkumpul di depan Gereja Makam Kudus.

Hampir sepanjang tahun, umat Kristiani dari berbagai bangsa berdatangan ke Yerusalem. Mereka mencoba menyerapi penderitaan Yesus Kristus, dengan menapaki Via Dolorosa, atau Jalan Penderitaan. Jalan inilah yang pernah dilalui oleh Yesus Kristus ketika memanggul kayu salib sekitar 2.000 tahun silam.

Jalan Penderitaan ini memandu para peziarah menuju Gereja Makam Kudus. Sesuai namanya, gereja ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah. Namun lebih dari itu, di dalam gereja ini juga terdapat tempat Yesus Kristus disalibkan, dimakamkan, dan naik ke surga.

Di tempat penyaliban Yesus Kristus, umat Krisitani bertelut dan melafalkan doa. Beberapa di antara mereka menundukkan kepala, yang lainnya menatap lekat kayu salib sambil menitikkan air mata. Para mendoa berbaur dengan para wisatawan yang wara-wiri berswafoto bersama salib Yesus Kristus. Hanya pada saat misa digelar, gereja ini ditutup sementara bagi para wisatawan.

1270313-01
Titik penyaliban Yesus Kristus di Bukit Golgota, atau Kalvari, yang kini berada di dalam Gereja Makam Kudus. Batu asli dari Bukit Golgota masih bisa dilihat dari balik kaca, jika pengunjung menuruni anak tangga menuju makam Yesus Kristus.

Saya meninggalkan salib Yesus Kristus. Berjalan menuruni anak tangga dan berhenti di depan sebuah bangunan bangunan kecil di dalam gereja. Bangunan inilah yang diyakini oleh umat Kristiani sebagai gua makam Yesus Kristus setelah ia diturunkan dari kayu salib.

Beberapa peziarah berbaris di depan bangunan itu, mengantre untuk melihat tempat pembaringan Yesus Kristus. Dari atas mereka, cahaya matahari melimpah, menyelinap lewat lubang kubah. Ornamen-ornamen menyerupai bintang dan cahaya matahari membingkai lubang itu, sebagai lambang langit tempat Yesus Kristus diyakini naik ke surga.

P1270329-01
Makam Yesus Kristus.

Selain bagi umat Muslim dan Nasrani, Kota Lama Yerusalem juga adalah kota suci bagi umat Yahudi. Tempat suci ini berada di wilayah Yahudi. Untuk masuk ke sana, saya harus melewati pemeriksaan oleh tentara Israel.

Saya harus meletakkan semua barang bawaan saya ke sebuah keranjang untuk dipindai dengan X-ray, lalu masuk melewati pintu metal detector. Persis seperti ketika saya hendak masuk ke pesawat terbang. Kali ini, lebih mirip prosedur keamanan untuk menunggangi gerbang mesin waktu. Gerbang yang akan membawa saya melihat sisa Bait Suci yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Herodes.

Setelah dinyatakan aman oleh tentara Israel, saya langsung melangkahkan kaki keluar ruang pemeriksaan. Sebuah tembok besar terlihat di kejauhan. Tembok Ratapan, atau Western Wall.

Tembok ini membentang sejauh kira-kira 60 meter. Namun wujud aslinya jauh lebih panjang, hampir 500 meter. Ini adalah bagian dari Bait Suci buatan Raja Herodes yang masih tersisa. Bagian lainnya hancur ketika umat Yahudi memberontak kekaisaran Romawi pada abad pertama.

1270360-01
Tembok Ratapan, tempat suci bagi Umat Yahudi di Kota Lama Yerusalem.

Saya beringsut mendekati tembok dan mengambil sebuah kippah, penutup kepala kecil berwarna putih yang disediakan di dekat Tembok Ratapan. Angin yang bertiup kencang saat itu membuat kippah seakan tak betah rebah di atas kepala saya.

Beberapa orang terlihat menggunakan penjepit rambut untuk menjaga kippah-nya tidak tertiup angin. Saya yang berkepala gundul ini tak dapat berharap banyak dari penjepit rambut.

Di tempat suci ini, para umat Yahudi meratap, memohon ampun atas dosa-dosa, dan memanjatkan doa pada Sang Pencipta. Mereka menyebutnya Yahwe.

Di sini, umat laki-laki dan perempuan tidak boleh berbaur dalam bagian yang sama. Keduanya dipisahkan oleh sekat, mengingatkan saya akan pembagian jamaah di Masjid Istiqlal. Bahkan loket masuk di Kota Lama Yerusalem pun dipisahkan bagi laki-laki dan perempuan.

Tidak hanya melambungkan doa, beberapa peziarah juga menyelipkan surat doa mereka di sela batu Tembok Ratapan. Di tembok inilah, umat Yahudi mengimani ada kehadiran Sang Pencipta.

1270494-01
Seorang Yahudi orthodox sedang merdoa di hadapan Tembok Ratapan.

Yerusalem, saya harus kembali lagi ke sana suatu hari. Masih terkenang aroma daging kambing yang mengalir di udara, menyelinap lewat jendela salah satu rumah makan di sana. Saya tidak sempat mampir waktu itu.

Masih teringat juga keramahan para penjual pernah-pernik yang saya lalui. Beberapa di antara mereka menyebut ‘Indonesia’ ketika saya melintas. Itu saja. Mereka tidak seperti penjual oleh-oleh di beberapa tempat liburan yang cenderung agresif dan membuat saya tidak nyaman.

Lalu tentunya, masih terbayang aroma dupa yang diam-diam membelai hati ketika saya berjalan di dalam Gereja Makam Kudus.

Yerusalem, Yerusalem…

Namamu dalam Bahasa Ibrani berarti kota yang damai. Namun, seberapa penting arti sebuah nama bagi kota yang selalu diperebutkan dan digilir oleh para pemenang perang?

30 thoughts on “Yerusalem, Kota Damai”

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.