Tips dan Inspirasi

Terlihat Seperti Turis, Ya atau Tidak?

Hal yang paling saya hindari ketika keluar dari pintu kedatangan bandara adalah tawaran dari para penyedia jasa transportasi. Saya tidak mengatakan tidak memerlukan jasa mereka. Namun ketika beberapa di antara mereka terus menawarkan, bahkan seperti memaksa, saya merasa tidak nyaman. Ketika saya menjawab “tidak, terima kasih”, saya berharap kami sama-sama mengerti Bahasa Indonesia.

Mengapa mereka melakukan hal itu kepada saya? Karena saya terlihat seperti pendatang, karena saya terlihat seperti turis atau wisatawan. Turis diyakini belum tahu betul soal pilihan-pilihan transportasi lokal di dalam kota, sehingga lebih mudah dirayu untuk menggunakan jasa mereka.

Ketika saya datang di bandara dengan muka kebingungan—apalagi sambil menyeret koper—mungkin saya terlihat seperti memakai baju bertulisan “Hey, I’m Traveler. I’m New in Here!“.

ac1bb-fb_img_1447181283019
Tampil sebagai turis atau tidak? Pilihan Anda. Lakukan hal yang membuat Anda nyaman tanpa mengusik masyarakat setempat.

Setiap orang memiliki gaya masing-masing ketika berlibur. Misalnya untuk terlihat seperti turis atau tidak, baik itu sengaja atau tidak sengaja terlihat seperti turis.

Saya percaya, mereka yang sengaja ingin menunjukkan identitasnya sebagai wisatawan memiliki tujuan tertentu. Apa pun itu.

Sama halnya dengan saya yang tidak ingin terlihat seperti wisatawan ketika berlibur. Ini adalah alasan-alasan saya menghindari tampil sebagai wisatawan.

1. Menghindari Godaan

Bukan. Ini bukan godaan untuk tidur bersama seseorang di kamar hotel.  Itu tidak perlu dihindari. Maksud saya, karena tawaran itu tidak akan datang kepada saya.

Ah, oke. Cerita yang saya tulis pada bagian pembukaan adalah salah satu contoh godaan yang saya maksud. Godaan untuk menghabiskan banyak uang dari para pelaku industri pariwisata.

Ada dua hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, saya selalu membatasi pengeluaran saya selama berlibur. Kedua, saya hampir tidak pernah mencantumkan beberapa kotak bakpia, Dagadu, atau oleh-oleh lainnya dalam daftar pengeluaran liburan. Jadi, ini adalah masalah penghematan uang. Bukan soal menghargai atau tidak menghargai usaha para pelaku industri pariwisata setempat.

1050629-01.jpeg
Di beberapa kota seperti Yogyakarta dan Surakarta, becak adalah salah satu alat transportasi yang kerap ditawarkan kepada wisatawan untuk menuju sentra oleh-oleh.

Saya berani bertaruh, jika Anda menyusuri Jalan Malioboro dengan mengenakan celana pendek, kaos dengan tulisan “I Love Bali”, sepatu Converse, dan kacamata hitam, setidaknya akan ada tiga tawaran dari pengayuh becak untuk berkeliling membeli oleh-oleh.

Jika Anda memang tidak keberatan, silakan. Jika Anda tidak nyaman atau tidak tega menolak tawaran-tawaran itu, berpakaianlah seperti masyarakat lokal, atau setidaknya tidak berpenampilan mencolok.

2. Mencegah Kriminal

Mengalungkan kamera di leher ketika menyusuri jalan sepi pada malam hari adalah cara terbaik untuk tampil sebagai turis (sekaligus mengundang seseorang untuk merampok Anda).

Apa lagi alasannya? Mereka percaya, turis datang ke tempat liburan tidak hanya dengan pakaian. Turis datang dengan uang. Uang untuk menyewa kamar hotel, untuk untuk makan di pinggir pantai, untuk untuk berbelanja, dan untuk kebutuhan lainnya. Itu pertimbangan pertama.

55a5d-malioboro

Pertimbangan kedua. Jika Anda hendak merampok seseorang di suatu tempat wisata, siapa yang Anda pilih sebagai target: turis atau warga setempat? Turis?

Cerdas! Karena mental orang yang berada di tempat baru cenderung lebih mudah ditekan. Di sisi lain, warga setempat cenderung lebih kenal dengan masyarakat dan kondisi lokasi setempat.

3. Mendapat Harga Lokal

Beberapa kali saya harus menanggung harga barang atau tarif kendaraan yang lebih mahal di tempat liburan. Anda benar, tidak ada yang salah dengan menetapkan harga atau tarif yang lebih mahal untuk wisatawan. Ini bisnis. Jika tidak suka, silakan cari pedagang atau penyedia jasa lain.

Perbedaan tarif untuk wisatawan dalam negeri biasanya tidak berlaku di tempat wisata yang sudah dikelola pemerintah daerah. Misalnya Candi Prambanan. Tarif biasanya dibedakan menjadi dua: wisatawan domestik dan wisatawan asing.

Artinya, Teuku dari Aceh dan Yohana dari Papua akan membayar retribusi masuk dengan tarif sama. Sementara Sora Aoi dari Tokyo akan membayar tarif berbeda.

Namun untuk beberapa jenis pengeluaran,  perbedaan harga antarsesama wisatawan domestik dapat berlaku. Besar perbedaannya terserah yang mengelola. Contohnya, tarif ojek.

Jika saya adalah tukang ojek, saya akan mematok ongkos lebih mahal untuk mengantar wisatawan. They have money, and I need it. Mereka kapok? Tidak masalah. Ratusan atau ribuan orang lainnya akan datang ke tempat wisata yang sama pekan depan.

Lantas, apa yang saya lakukan ketika saya benar-benar tidak ingin terdeteksi sebagai wisatawan ketika saya memang sedang berwisata?

Berbaur.

Berbaur dengan Masyarakat Setempat

Berbaurlah dengan masyarakat setempat. Belalang, kupu-kupu, atau katak sudah melakukannya, dan manusia menyebutnya sebagai kamuflase.

Kesan Pertama: Busana Anda

Visual memainkan peran penting dalam menyusun kesan pertama. Cara Anda berpenampilan adalah hal paling sederhana yang menentukan kesan yang orang lain bangun terhadap Anda.

Mengenakan kemeja Hawaii, kaos singlet, celana pendek, sendal jepit, dan kacamata hitam di Kuta sangat mencirikan Anda sebagai wisatawan. Tidak ada yang aneh dengan itu, jika Anda mengenakannya di pinggir pantai. Namun ketika Anda mengenakan busana itu hanya untuk mencari makan keluar penginapan,  ya, Anda turis seutuhnya.

Kenakanlah pakaian sewajar penduduk setempat melakukannya. Atau setidaknya, tidak tampil mencolok.

Baca juga: “Malas Melipat Baju saat Berkemas? Ikuti Cara Saya”  di sini.

Rem Mulut

Anda sedang duduk di dalam taksi di Bandung dan berbicara di telepon, “Iya, Sayang. Ini udah sampai. Lagi di jalan ke hotel. Iya… Iya… Iya… I love you too, Mirna, I mean Vina.  Bye“. Bingo! Anda sedang memperkenalkan diri ke sopir taksi yang Anda tumpangi bahwa Anda adalah pendatang.

Saya tidak mengatakan semua sopir taksi di tempat wisata selalu berlaku tidak adil kepada pendatang. Namun nyatanya, keluhan dari sejumlah wisatawan di TripAdvisor adalah keluhan soal permainan curang sopir taksi di Indonesia.

Keluhan soal taksi di Indonesia juga hampir selalu masuk dalam ulasan soal “tourist scam in Indonesia”. Modusnya bermacam-macam, seperti mengambil rute yang lebih jauh.

 Amati dan Pelajari

Cermati bagaimana kebiasaan dan adat istiadat masyarakat setempat. Sekencang apa volume suara mereka ketika bertanya, seperti apa gestur tubuh mereka ketika menyapa orang lain,  atau bagaimana cara mereka bersalaman.

Tidak perlu waktu yang lama. Saya hanya perlu duduk di suatu tempat yang cukup ramai, memperhatikan interaksi yang terjadi di sekitar saya, misalnya antara penjual minuman dan pembeli. Kemudian, saya akan paham perbedaan cara mengucapkan terima kasih di Solo dan di kampung saya di Jawa Barat.

https://www.instagram.com/p/85t0K0Dxa1

Mengetahui dan mengikuti kebiasaan masyarakat setempat tidak hanya membuat Anda seperti bagian dari masyarakat setempat, namun juga membuat Anda ingat untuk menghargai adat istiadat dan masyarakat setempat.

Baca juga: “Memaknai Syawal di Surakarta” di sini.

Jangan Jelalatan

Hey, saya baru tahu “jelalatan” ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia!

Oke, ketika Anda berjalan di suatu tempat, berjalanlah dengan penuh rasa percaya diri. Langkah yang mantap, pandangan lurus ke depan, seperti Anda melewati jalan itu setiap hari. Mengapa? Karena orang yang berjalan di suatu tempat yang sudah mereka kenal cenderung tidak melihat ke mana-mana, hanya lurus ke depan.

Berjalan dengan mata melihat ke kiri dan ke kanan mengesankan Anda sedang mencari sesuatu, atau berusaha mengenali suatu tempat.

Punten, Bu. Terminal Leuwi Panjang di mana, ya?”

Ketika berada di suatu tempat liburan, kuasailah beberapa kata atau frasa. Berbicara dengan bahasa setempat akan membuat Anda dianggap sebagai warga setempat. Kata-kata yang biasanya saya pelajari adalah kata untuk menyapa, meminta permisi, dan berterima kasih.

Saya tidak perlu mempelajari bahasa lain sampai fasih, tentu saja. Cara yang saya lakukan adalah membuka percakapan dengan bahasa setempat, berbicara dengan Bahasa Indonesia dengan sedikit dialek setempat, dan menutup pembicaraan dengan bahasa setempat. Voila!

Bagaimana dengan Anda? Apakah memilih untuk dikenal sebagai wisatawan ketika sedang berlibur? Atau lebih nyaman untuk dikenal sebagai warga setempat?

57 thoughts on “Terlihat Seperti Turis, Ya atau Tidak?”

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.