Pukul 9:30 kami sudah tiba di terminal Arjosari untuk meninggalkan Malang. Setelah berpamitan dan mengucapkan banyak terima kasih kepada teman baru kami, kami pun bergegas ke dalam terminal untuk mencari informasi mengenai bus yang akan mengantar kami ke Probolinggo.
Di sana terdapat papan informasi yang menyediakan informasi mengenai keberangkatan dan harga karcis bus dengan sangat jelas. Kami pun melesat menuju Probolinggo dengan menumpangi bus. Perjalanan menuju Probolinggo tidak terlalu menarik dan membosankan, hingga saya pun memutuskan untuk tidur sekaligus mengisi tenaga. Perjalanan dari Probolinggo ke Cemoro Lawang (kawasan Gunung Bromo) dapat dilakukan dengan menggunakan elf biru yang terdapat di samping kiri terminal Probolinggo. Selama perjalanan, kami benar-benar dipuaskan oleh pemandangan yang begitu menyejukkan mata. Saya sangat menyarankan untuk tidak tertidur dalam perjalanan kali ini. Barisan pegunungan cemara seolah-olah menjadi pintu masuk bagi kami menuju Gunung Bromo. Saya baru teringat arti dari Cemoro Lawang yang mungkin dapat diterjemahkan sebagai ’Pintu Cemara’.
Sekitar pukul 14:00 kami sudah tiba di kawasan wisata Gunung Bromo. Dari atas, saya dapat melihat kuasa Sang Pencipta yang terlukis dalam karya agungnya, sebuah gunung dengan bentuk hampir segitiga sempurna yang berdiri megah di hamparan pasir vulkanik abu-abu. Saya mengambil beberapa gambar lalu melangkahkan kaki menuju penginapan yang telah kami pesan sebelumnya. Kami mendapatkan sebuah kamar dengan dua tempat tidur berukuran sedang di salah satu penginapan di sana. Sebelum berpamitan, sopir yang membawa kami ke sana menawarkan kendaraan untuk keeseokan harinya. Kami memang berencana untuk melihat matahari terbit di Puncak Pananjakan dan ke padang pasir untuk menuju ke kawah Bromo.
Gunung Batok yang terletak di kaldera Gunung Bromo dilihat dari dekat penginapan.
Menunggu Matahari
Pukul 4:00 kami sudah dibangunkan oleh pengelola penginapan. Saya sama sekali tidak berniat untuk mandi atau pun menyentuh air pada pagi itu. Jangan bercanda, udara dan air di Bromo pada siang hari pun sudah lebih dingin dari udara di kota saya berasal pada malam hari. Akhirnya setelah bersiap-siap, kami segera bergegas masuk ke kendaraan yang sudah menunggu kami di depan penginapan.
Perjalanan menanjak menuju Puncak Pananjakan tidak terlalu lama, mungkin 20 menit. Namun saya yakin perjalanan ke sana akan sangat melelahkan apabila ditempuh dengan berjalan kaki. Hari masih sangat gelap sehingga saya tidak dapat melihat pemandangan apa-apa selama perjalanan. Sejauh mata memandang, yang ada hanyalah barisan lampu berwarna jingga di sepanjang jalan yang menanjak cukup curam tersebut. Bukan lampu penerangan, cahaya tersebut berasal dari barisan Mobil yang juga sedang menuju Puncak Pananjakan. Informasi yang saya dapatkan, ada sekitar 200 mobil yang dikelola bersama oleh warga di Cemoro Lawang.
Akhirnya pada pukul 4:40 kami turun dari kendaraan. Kami harus berjalan lagi sekitar 300 meter untuk menuju gardu pandang di Puncak Pananjakan. Di kiri-kanan kami, beberapa tukang ojeg dan penjual syal mulai menyapa kami menawarkan jasa dan barang dagangannya. Beruntung kami datang lebih awal sehingga kami dapat menempati barisan terdepan di gardu pandang, hanya untuk menunggu matahari terbangun dari peraduannya. Cukup lama kami menunggu, hingga akhirnya sang bintang tamu yang ditunggu-tunggu pun muncul dari seberkas cahaya kuning kemerahan di balik hamparan pegunungan di hadapan kami. Ini merupakan salah satu pemandangan terindah yang saya temui dalam perjalanan kali ini. Saya dapat melihat jelas haparan awan putih yang ada di bawah kami memantulkan cahaya keemasan dari sang matahari. Perlahan barisan pegunungan di hadapan kami pun terlihat jelas. Para wisatawan yang sebagian besar adalah wisatawan asing pun kembali disibukkan dengan kameranya masing-masing. Beruntung sekali langit pada pagi itu begitu cerah hingga kami dapat menyaksikan terbitnya matahari dengan sempurna.
Kawah Bromo
Kamera yang saya pegang sudah cukup banyak mengambil gambar-gambar di sana. Sehingga akhirnya kami memutuskan untuk segera mendekati Gunung Bromo lebih dekat dan melihat kawah Bromo. Kendaraan yang kami sewa sudah siap mengantarkan kami menuruni jalan yang tadi kami lalui menuju padang pasir yang sangat luas. Di sana, jarak saya dengan Gunung Bromo begitu dekat, saya benar-benar berada di kaki gunung tersebut!
Beberapa saat kemudian kami sudah berjalan kaki menuju kawah Bromo. Perjalanan sekitar dua kilometer tersebut sebenarnya dapat ditempuh dengan menunggangi kuda yang disewakan di sana. Untuk melihat kawah pun ada 250 anak tangga yang harus kami jajaki. Tidak terlalu banyak memang, namun tipisnya oksigen di sana benar-benar terasa dan membuat nafas saya tersenggal-senggal. Namun di atas sana, semua pengorbanan itu benar-benar terbayarkan oleh pemandangan yang disuguhi. Dari atas saya dapat menyaksikan kepulan asap putih yang berasal dari dasar kawah Bromo. Tak ayal, aroma belerang pun turut memberi warna tersendiri bagi suasana di sana. Dari atas sana pun saya dapat melihat hamparan luas pasir berwarna abu-abu dan hamparan padang rumput yang benar-benar hijau yang terbentang di bawah saya. Barisan pegunungan cemara pun seolah menjadi latar belakang dari pemandangan yang memesona ini. Saya pun dapat menyaksikan sebuah bangunan yang tak lain adalah pura suku Tengger yang berdiri di tengah-tengah padang pasir serta barisan wisatawan dan kuda dari atas sana. Sungguh menakjubkan!
Kawah Bromo
Anak Tangga Kawah Bromo
Kuil Suku Tengger
Tujuan Akhir yang tidak Direncanakan: Jogjakarta
Voila! Akhirnya Yogyakarta menutup perjalanan kami!
Pukul 12:00 kami sudah meninggalkan Cemoro Lawang. Tujuan selanjutnya adalah Yogyakarta. Untuk menuju ke sana, ada dua pilihan yang saya tawarkan. Pertama adalah dengan menggunakan kereta api dari stasiun KA di Probolinggo. Namun karena kereta tersebut hanya tersedia pada pukul 7:00 keesokan harinya, maka kami memilih untuk menggunakan bus yang berangkat pada pukul 19:00.
Perjalanan ditempuh selama 10 jam dan hanya saya habiskan untuk tidur selama perjalanan. Pukul 5:00 keesokan harinya kami sudah tiba di Yogyakarta. Kendaraan yang akan membawa kami ke Malioboro (Trans Jogja) baru beroperasi pada pukul 6:00.
Jalan Sosrokusuman adalah salah satu surga para pelancong untuk menemukan penginapan murah.
Tidak banyak yang kami lakukan di Jogjakarta, kami hanya memanjakan diri dengan berjalan-jalan di sekitar Malioboro karena kami bertiga memang sudah pernah mengunjungi tempat-tempat wisata di sana sebelumnya. Di Jalan Sosrokusuman (tepat di samping Malioboro Mall), terdapat beberapa penginapan dengan harga yang terjangkau. Sekitar Rp 100.000,00. Untuk menikmati suasana Yogyakarta, duduk di angkringan sambil menyantap nasi kucing dapat menjadi pilihan yang tepat. Malam itu kami menikmati suasana kota Yogyakarta, bertandang di salah satu lesehan di sebelah utara stasiun Tugu sambil menikmati malam terakhir liburan kami.
hahaha…jalan-jalan ajak2 atuh om…olangan wae…hehehe
LikeLike
ka maaf saya mau nanya kalo naik keretanya itu dari kiaracondong tujuannya ke terminal apa ? ko bisa murah gitu ka? makasih
LikeLike
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
LikeLike