Cerita Perjalanan

Menempuh Lumpur Pulau Sempu

Beberapa bulan yang lalu, saya bersama dengan dua orang teman melakukan perjalanan menuju Pulau Sempu dan Gunung Bromo. Keduanya terletak di provinsi Jawa Timur. Terpisah di kabupaten yang berbeda, keduanya menawarkan pesona kemegahan alam dengan atmosfer yang berbeda pula. Saya dapat mengatakan, perjalanan ini adalah perjalanan yang cukup menegangkan, menyenangkan, sekaligus mencengangkan.

Tujuan pertama kami adalah Pulau Sempu. Pulau ini sesungguhnya bukanlah tempat pariwisata, melainkan merupakan salah satu cagar alam. Maka tidak aneh apabila kawasan tersebut dibebaskan dari berbagai aktivitas pembangunan. Jangan bayangkan kita bersantai di sebuah cottage yang menghadap ke Sagara Anakan di Pulau Sempu atau duduk di sebuah rumah makan di tepi pantai. Di sana tidak ada bangunan sama sekali, maka tenda adalah satu-satunya pilihan jika ingin bermalam di sana.

Menuju Malang

Saya bergegas menuju stasiun kereta di Bandung. Hampir saja terlambat untuk mendapatkan tiket kereta. Kereta yang kami gunakan adalah kereta api Malabar (Malang – Bandung Raya). Gerbong ekonomi plus-nya cukup nyaman, dilengkapi dengan nomor kursi pada setiap karcisnya, dan para pedagang pun dilarang untuk hilir mudik di dalam gerbong. Pukul 15:30 kereta mulai bergoyang. Kami meninggalkan Bandung dan akan tiba di Malang pada pukul 8:20 keesokan harinya.

Dari Malang hingga Sendang Biru
Perjalanan ke Pulau Sempu harus dilakukan dengan menyeberangi pantai di Sendang Biru. Menuju Sendang Biru dapat dilakukan dengan menggunakan tiga kendaraan umum dari stasiun KA Malang. Pertama, kami menuju terminal Gadang dengan menggunakan angkot berkode AMG dengan membayar ongkos sebesar Rp3.000,00. Lalu dari Gadang kami bergegas menuju Turen menggunakan bus dengan membayar ongkos sebesar Rp6.500,00. Dari Turen baru kami dapat menemukan kendaraan yang akan mengantarkan kita hingga ke pantai Sendang Biru dengan biaya sebesar Rp12.000,00. Sekedar informasi, kendaraan umum satu-satunya yang mengantarkan kita ke Sendang Biru ini sering sekali berhenti di beberapa tempat untuk menunggu penumpang. Lama perjalanan dari Malang hingga Sendang Biru sekitar empat jam. Maka dari itu disarankan agar tidak meninggalkan Malang terlalu siang, karena akan mempersulit perjalanan di Pulau Sempu jika kalian tiba di sana pada malam hari.
Medan Lumpur di Pulau Sempu
Kapal-kapal yang siap menyeberangkan kami ke Pulau Sempu.
Langit cukup cerah ketika kami menginjakkan kaki kami di pantai Sendang Biru. Sesuai dengan namanya, pantai biru yang memantulkan sinar matahari ini sudah menyambut kedatangan kami dengan keindahannya yang memesona. Sejauh mata memandang, hamparan laut di depan kami berujung pada beberapa pulau yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri. Ya, salah satunya adalah Pulau Sempu. Konon menyeberang ke Pulau Sempu dapat dilakukan dengan cara berenang pada saat laut sedang surut. Namun kami pikir itu adalah ide yang buruk, hingga kami lebih memilih untuk menumpangi sebuah kapal kecil untuk menyeberang ke sana. Menyeberangi pantai Sendang Biru memakan waktu hanya sekitar 15 menit. Kapal kecil yang kami gunakan mungkin dapat menampung hingga 20 penumpang. Selama 15 menit itu pula saya hanya terdiam, begitu kagum melihat pulau hijau yang dipenuhi batu karang yang ada di depan saya. Saya penasaran bagaimana perjalanan menuju Sagara Anakan yang akan kami hadapi nanti.
Di Pulau Sempu, kami diturunkan di Teluk Semut.
Di Pulau Sempu, kami diturunkan di Teluk Semut.
Tak lama kapal yang kami gunakan segera merapat ke Pulau Sempu, tepatnya di Teluk Semut. Di sana saya dapat melihat beberapa wisatawan sudah berdiri di bibir pantai, nampak sedang menunggu kapal yang akan membawa mereka kembali ke pantai Sendang Biru. Hal ini semakin membuat rasa penasaran dan tidak sabar kembali menghantui saya. Akhirnya perjalanan pun dimulai. Ternyata pada musim penghujan, pulau ini benar-benar dipenuhi oleh lumpur. Selama perjalanan menuju Sagara Anakan, jalan yang kami injak adalah jalan berlumpur yang kedalamannya dapat mencapai mata kaki. Cukup melelahkan berjalan di atas lumpur dengan barang-barang bawaan yang cukup berat di punggung kami. Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh dalam waktu 30 menit (pada musim kemarau) pun akhirnya harus kami tempuh selama kurang lebih dua jam.
Medan perjalanan yang kami tempuh pada musim hujan.
Medan perjalanan yang kami tempuh pada musim hujan.
Hari sudah mulai gelap, dan kami masih berada di tengah hutan. Kami yang sejak semula bercanda ria dalam perjalanan pun kini lebih banyak diam. Mungkin kami letih, atau mulai ragu dengan kemampuan kami menembus hutan menuju Sagara Anakan? Saya tidak tahu. Pikiran dan badan saya terlalu letih untuk bercanda dengan teman-teman. Ada beberapa hal menarik yang mewarnai perjalanan kami, misalnya saja sepatu saya yang jebol dalam perjalanan dan lengking suara monyet-monyet serta dengus nafas babi hutan yang sempat kami dengar saat hari mulai gelap. Cukup menegangkan, bukan? Anggap saja, iya.
Sagara Anakan
Sagara Anakan terletak di sebelah selatan Pulau Sempu. Ini adalah sebuah laguna, di mana air laut yang masuk dari Samudera Hindia melalui sebuah lubang di tebing karang yang cukup tinggi terperangkap dan membentuk suatu pantai kecil yang dangkal. Malam itu kami tidak dapat melihat Sagara Anakan secara jelas, maklum penerangan di sana hanyalah cahaya bulan dan api unggun yang dibuat oleh beberapa rombongan lain. Setibanya di sana kami segera membersihkan diri dan pakaian kami dari lumpur, memasang bivak untuk tidur, dan menyiapkan hidangan makan malam seadanya.
Tenda darurat. Kami bertiga tidur di sini.
Tenda darurat. Kami bertiga tidur di sini.
Keesokan paginya kami baru benar-benar bisa melihat pesona Sagara Anakan. Indah sekali! Lembutnya pasir putih di bawah kaki kami berpadu dengan hamparan pantai hijau muda yang tenang serta kemegahan batu karang yang berdiri dengan angkuh di hadapan kami. Saya tertegun melihat bagaimana air dari Samudera Hindia masuk ke Sagara Anakan melalui lubang besar di tebing karang tersebut. Tidak sabar rasanya ingin melepas baju dan berbaur dengan tenangnya air di sana. Pesona Sagara Anakan pun semakin memikat ketika matahari mulai muncul dari balik tebing karang di sebelah timur. Pantai hijau pun perlahan bergradasi menjadi pantai biru yang begitu sempurna. Beberapa ekor monyet hutan pun terlihat berdatangan dari hutan seolah ingin bergabung dengan kami menikmati pemandangan Sagara Anakan. Bukan, mereka nampaknya mencari makanan. Maka dari itu, pastikan semua barang dan makanan sudah tersimpan aman agar tidak dicuri oleh monyet-monyet.
Tebing karang di Pulau Sempu
Rp590.000,00 | Bandung – Pulau Sempu – Gunung Bromo – Jogjakarta – Bandung (Bagian 1)
Kembali ke Teluk Semut
Pukul 11:00 kami harus segera pergi meninggalkan Sagara Anakan. Sayang sekali rasanya harus pergi lebih awal. Padahal kami berencana untuk menginap selama dua malam di sana. Namun karena izin yang diberikan oleh polisi hutan hanya semalam dan keterbatasan persediaan air bersih yang kami miliki, kami memutuskan untuk meninggalakan pulau itu. Perjalanan kembali ke Teluk Semut kali ini kami tempuh sekitar setengah jam lebih cepat dari waktu keberangkatan kami.
Setibanya di Teluk Semut, kami bertemu dengan satu rombongan wisatawan yang sedang duduk-duduk di bawah pohon sambil bersenda gurau. Kami bertegur sapa. Mereka berasal dari Malang dan ternyata terpaksa untuk hanya menikmati pantai di Teluk Semut setelah melihat medan lumpur yang harus mereka lalui untuk menuju pantai Sagara Anakan. Kami berbincang cukup panjang sambil menunggu kapal yang akan menjemput kami ke Sendang Biru. Mereka begitu ramah. Beberapa roti dan makanan ringan lainnya yang mereka tawarkan tentu tidak kami tolak. Apalagi tawaran mereka selanjutnya, transportasi gratis menuju Malang, plus tempat bermalam di rumah mereka. Wow!
Kembali di Malang
Bus gratis untuk kembali ke Malang.
Bus gratis untuk kembali ke Malang.
Beberapa jam kemudian kami sudah duduk manis di dalam sebuah bus AC yang mengantarkan kami kembali ke Malang. Sekedar informasi, rute angkutan umum yang dapat digunakan untuk kembali ke Malang sama dengan rute yang yang kami gunakan untuk menuju Sendang Biru. Namun perlu diperhartikan, elf dari Sendang Biru ke Turen hanya tersedia hingga pukul 15:00.
Kami tiba di Malang pada malam hari. Setelah membersihkan diri, sang tuan rumah pun mengajak kami berkeliling kota Malang sambil menikmati makan malam. Mereka membawa kami ke sebuah rumah makan yang menyajikan menu ayam goreng di depan sebuah stadion di Malang, kami lupa namanya. Kami mengakhiri hari itu pada sekitar pukul 23:00. Badan kami sangat letih dan kami harus cukup bersitirahat sebelum perjalanan ke Gunung Bromo yang akan kami tempuh keesokan harinya.

17 thoughts on “Menempuh Lumpur Pulau Sempu”

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.